Senin, 04 Mei 2015

Ini adalah bulan istimewa bagi Surabaya dan segenap penduduknya.
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung

Menggodok Mie #1



“Siapa sangka yang akan hadir di masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”

@Untuk kita yang the first sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
                Kamu asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku- dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku.  Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.            

Kita bertemu tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja. Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.

Tigapuluh menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala. Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.

“Nggak apa kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.

Kamu mengangguk. Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan mungkin sampai sekarang.

Entah bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain. Akutak ingat jelas pastinya.

Aku pun kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.

***

Tiga tahun berlalu.

Kawat: Apa kabar, Le?

Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis jelas di akunku?

La’la’: Baik.

Aku menjawab simpel. Buru-buru menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan banyak pertanyaan lainnya.
                 
Kita lalu melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.

Sebulan.

Dua bulan

Tiga bulan.

Kamu sedang dalam masalah besar.

Bersambung.


Kamis, 19 Maret 2015

Bukan Surat Cinta


Percaya atau tidak, aku tercenung tiga puluh menit sebelum memulai tulisan ini. Bingung harus memulai dengan sapa ceria, datar-datar saja atau bahkan menampakkan saja bahwa aku belum sepenuhnya berhenti menjadi perempuan insomnia setiap malamnya. Semua kata berlomba menjadi yang pertama dalam tulisan. Semua peristiwa meronta menjadi yang paling awal diceritakan. Seandai otakku berbahan beling, sudah kupecahkan jauh sebelum aku berkeinginan menuliskan keadaan paling mematikan ini: mematikan karena harus ada banyak hal yang sengaja aku hadirkan dalam ingatan. Mulai dari rasa kenyang yang kuperoleh tanpa satupun suapan, sampai satu jam setelah melahap beberapa menu masakan, perutku masih merasa kelaparan.

Otakku masih membayangkan banyak hal yang berlalu-lalang sejak beberapa bulan terakhir. Tentang tips mengelus dada yang lebih kreatif, semangat bergabung bersama banyak orang yang kerjanya hanya baca tulis, sampai pada penyusunan resolusi yang ujung-ujungnya mendapat umpatan sendiri dari otak dan hati bahwa rancanganku tak lebih dari sekedar resolusi basi.

Awalnya aku ingin ngakak saja, menyadari betapa aku merasa satu-satunya perempuan termalang di dunia-setidaknya itu lebih menguasai pikiranku beberapa waktu lalu- yang sudah tidak percaya bahwa yang berbuat baik pada sesama dan mengasihi hewan lebih dari manusia lainnya, akan dihampiri seorang pangeran berkuda putih yang rupawan dan sangat keren nama panggilannya.

Aku sudah mensugestikan diri sendiri bahwa di luar sana semua mata lelaki berbentuk sama: KOTAK. Padahal temanku bilang, Spongebob yang tubuhnya kotak saja masih memiliki mata bulat sempurna. Tapi entah, intinya aku merasa mata mereka tidak hanya akan melukai sepasang mata lain yang memandangnya sekali, melainkan berkali-kali. Seperti sebuah kotak dengan empat sudutnya, satu sudut tobat dengan perlakuannya, sudut lain berebut menagih jatahnya. Atau pikiran picik ini datang setelah aku divonis trauma stadium empat. Entah.

Tiga puluh menit berlalu dengan kecamuk pikiran yang lebih buruk dari kata ‘amburadul’. Berputar mengelilingi satu titik paling membahayakan untuk dipandang, dikenang apalagi diharapkan. Meski itu-itu saja yang sampai saat ini masih kulakukan. Semuanya masih berotasi sempurna.
Akhirnya satu keputusan berani kulontarkan: Tak ada tulisan yang lebih bernyawa kecuali jika itu tentang kekonyolanku yang kuanggap terhormat. Dan tak ada tulisan konyol kecuali jika pembacanya kukhususkan untukmu saja. Ya. Tulisan ini untukmu: yang seharusnya naik menara Eiffel, atau minimal ke Monas untuk rasa syukurmu karena kehadiranku yang lebih mirip robot perempuan dengan perasaan lebih kuat dari manusia lainnya lalu menyukaimu sedemikian hebatnya. Atau kamu malah merasa harus meratap di pekuburan sempit pinggiran kota karena aku kau anggap sosok manusia yang bukan main ngototnya memilihmu dalam setiap rangkaian doanya. Dan kamu menyesal pernah berjabat tangan dengannya. Aku tak tau. Aku takut mempertanyakan tanggapanmu.

Hei, aku berbasa-basi terlalu panjang. Bukan karena sok merhasiakan, tapi memang sambil lalu memikirkan jenis tulisan apalagi yang harus kusampaikan. Model marah-marah sudah terlalu biasa untuk dipublikasikan, sok melankolis juga sudah berpuluh-puluh halaman yang akan kamu temukan. Yang pasti tulisan ini akan lebih memahamkanmu bagaimana aku menyihir diri menjadi pemeran tangguh seperti dalam film-film heroik beberapa bulan terakhir ini. Melawan banyak monster yang lebih membahayakan dari Griever, lebih mematikan dari tatapan Gorgon dan lebih menyeramkan dari Banshee. Monster-monster itu muncul dari keragaman pikiranku sendiri. Bagaimana monster cemburu tak tepat waktu, rasa sedih yang berlarut-larut dan ketidak-mampuanku berdamai dengan kenyataan jelas akan sangat ganas menggerogoti hati tanpa kenal ampun. Aku sudah lama berjuang melawan itu semua. Hasilnya? Dengan sangat percaya diri-tapi tidak sombong-aku berani jamin bahwa aku sudah memenangkannya.
                                                                                                          ***
Bicara tentang kamu memang unik. Seunik pernak-pernik peninggalan para keluarga kerajaan yang hanya bisa kita lihat di balik kaca sedemikian tebalnya, tanpa sedetikpun para penjaga museum mengizinkan kita memegangnya. Kamu hanya bisa kuinjak kakinya lewat lagu yang pernah kamu nyanyikan, hanya bisa kuacak rambutnya melalui foto pajangan di dinding kamar dan hanya bisa kupeluk lewat ingatan yang mengoyak kesabaran.
Aku tidak perlu khawatir ditangkap pihak kepolisian saat harus mengusut tindakanmu yang kuanggap sangat kriminal. Membunuh dengan tragis rasa sabar dan keceriaanku untuk berbulan-bulan. Tapi sebagai keluarga korban, sama sekali aku tak menyimpan dendam maupun  membencimu dengan sangat tajam. Aku tidak bisa lakukan itu. Kamu masih saja rutin kurapal dalam doa dan kupanggil-panggil tiap pagi tanpa peduli kamu sesibuk apa. Aku dibilang tidak paham aturan mungkin sangat benar, bahkan jagonya.

Lambat laun aku merasa harus merenovasi sukaku dari yang lumrah dialami teman-teman sebayaku menjadi yang serba tangguh tapi mengacak-acak hati seperti dalam beberapa kisah yang ditulis Dee dalam bukunya, Rectoverso. Aku harus mengaplikasikan lirik lagu dari penyanyi satu-satunya yang paling aku gilai suaranya di Indonesia. Kamu taulah lagunya apa dan milik siapa. Aku harus. Aku harus. Banyak hal yang kutuntutkan sendiri untuk diri sendiri. Cukup caranya yang wajib lebih kuperbaiki. Sedangkan doa? Aku tak berani mengotak-atiknya. Kamu masih tetap rapi dalam susunan fatihah setelah para guru dan kedua orang tua. Tidak berlebihan, kan? Aku tidak menyangkal jika banyak yang bilang aku goblok memperjuangkan ini sendirian. Tapi entah kenapa, keyakinanku berdiri tegak dengan sangat angkuhnya: bahwa kamu tetap lelaki pertama yang akan kuinjak kaki dan kuacak rambutnya setelah saudaraku (ssst, yang memiliki inisial cahaya boleh ngerasa tercubit lengannya :D) menyanyikan All of Me dan Thinking Out Loud dalam upacara pengukuhan aku-kamu menjadi kita. *haha. Nggak ada yang ngelarang mimpi kita sebegini gilanya, kan?*

Aku selalu kehabisan cara menceritakanmu pada semesta. Sebab kupercaya kamu punya banyak ilmu mistis yang mampu membuatku ngakak dan meratap di waktu yang sama. Yang selalu punya alasan kenapa harus kusebut namamu menjelang tidur setiap malamnya. Yang selalu ada dalam rentetan daftar masa depan bahagia. Hahaha. Aku gila? Boleh saja. Tapi aku punya alat lebih besar dari earphone yang bisa menutup rapat telinga. Mau kamu tertawa ya aku ikut tertawa. Kamu terpesona ya aku tujuh kali melompat bahagia. :D

Sebelum kuakhiri surat yang hampir saja kukirim ke rumah Juliet di sana, anggap saja tulisan ini sebagai jawaban dari tanya yang kamu lontarkan beberapa jam sebelumnya. Jika kamu peka dan mau berbaik hati untuk kesekian kalinya, aku mau jawaban dengan pertanyaan yang sama. ‘Bagaimana bentuk kakiku dalam kacamat 3Dmu?’ :D
                                                                                                    SEKIAN

*Kita bertemu di alphabet selanjutnya. Salam dua kaki!. Tendang!. Kita bahagia!
**Ditulis dalam keadaan yang hanya bisa dideskripsikan para peri kepada Cinderella dan dalam waktu yang hanya bisa dijelaskan oleh Doraemon kepada Nobita.

Minggu, 14 Desember 2014

Hujan Tiga Rintik


Kau tau kenapa turunnya air yang bersamaan dinamakan hujan? Aku sendiri tak tau mengapa. Yang pasti, saat ada yang turun bersamaan, kuberinama itu hujan.

Baiklah, lalu ini tentang cerita hujan. Bukan dari langit, bukan dari hasil uap. Tapi ini murni beberapa hal yang mendadak turun bersamaan. Entah darimana, tiba-tiba saja hatiku membasah.
Ya, ini tentang hujan. Tetesan bersamaan yang turun berupa mata-mata menyenangkan. Aku akan menceritakan dari awal, sampai klimaks yang akan membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Dari Hujan pertama:

Namanya Pablo. Lelaki realis dengan model rambut tipis. Agak hitam tapi sangat manis. Sungguh. Dia manis. Sepanjang hidup, hanya sekali aku melihatnya secara langsung. Itupun sudah beberapa tahun yang lalu. Dan ada yang tak bisa dipungkiri dalam teks doa yang setiap malam aku rapalkan. Aku menginginkan untuk menjumpainya kembali entah kapan. Dia menemuiku saat dia dalam kekalutan besar. Saat benar-benar tak punya kekuatan. Sebagai teman yang baik, aku berusaha menyihir diriku sedemikian rupa agar tampak menyenangkan dan sedikit membuatnya merasa punya pegangan. Aku sok bijak, sok sabar, sok baik dan sok-sok yang lain. Entah dengan cara apa dia mulai menghargaiku dan tak sesederhana hanya mengakui keberadaanku sebagai teman. Lebih dari itu. Tapi dasar dia si lelaki matang, caranya sungguh tak pasaran. Beberapa kali aku hanya berani menyimpulkan, dengan pengamatan yang bisa jadi itu fatal: Kurasa dia mulai menyukaiku. Bukan cinta. Sekedar suka. Berulangkali dia bilang aku satu-satunya teman yang paling enak diajak bicara, karena aku memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa, menurutnya. Soal kekanakanku memang dia selalu mempermasalahkan, barangkali tak sesuai dengan isi otaknya yang menurutku bisa bikin seseorang lebih tua dari biasanya. Tapi secara keseluruhan, dia hanya tak punya cara mengungkapkan. Entah menunggu atau memang tak ada sesuatu.

Hujan kedua:

Namanya Hati. Sebenarnya aku ragu dengan penamaan itu. Tapi biarlah, sebagai anak Sastra Arab, aku gunakan sedikit mufrodat yang sudah sejak SD Ibu guru ajarkan. Aku ambil dari nama aslinya lalu kuterjemahkan. J Dia labih deras dari hujan pertama, entah wajah dan segala bentuk perhatiannya. Tak cuma manis, yang ini sudah banyak diidolakan teman-teman sekampus apalagi mahasiswa baru. Oh. Orangnya dingin. Tak punya selera humor yang tinggi. Tapi enak diajak ngobrol. Aku kenal dia dari salah satu organisasi yang aku geluti di fakultas. Sampai di tahun kedua, kita sama berada di dua organisasi yang sama. Pernah sekali aku benar-benar jadi partner kerjanya. Dia ketua, aku sekretarisnya. Mungkin dari sanalah cerita ini bermula. Pepatah lama memang selalu benar adanya, bahwa rasa suka akan datang saat sudah sering bersama. Kali ini aku berani mengiyakan. Karena sangat jelas dia menampakkan tanda-tanda yang membuatku tak bisa tidur siang malam. Hingga pada suatu sore, “Musuhan itu penting. Sebab aku selalu tegerak untuk memperhatikan setiap gerakmu. Dan itu sekuat tenaga berusaha aku sangkal, tak boleh ada suatu hubungan dengan saudara seatap”. Nah, aku sebagai perempuan biasa yang cenderung labil, mulai memikirkan kata-katanya dengan matang. Lama kita tak saling sapa. Bertemupun hanya sekedar nyubit, mandang dan mengacak kepala. Tak ada bahasa, lalu saling pergi meninggalkan. Itu yang aku rasakan sangat menyulitkannya. Aku sementara tidak masalah. Meski kutahu dia mati-matian tak mau menggubris perasaannnya sendiri terhadapku. Kadang aku berpikir, perlukah aku keluar dari organisasi untuk membuat hatinya lebih tenang dan nyaman? Tapi dasar dia bisa membaca pikiranku, beberapa bulan kemudian, dia kembali mengakrabiku seperti semula. Hingga sekarang, seperti ada suatu hal yang sama kita tahu, tanpa harus ada yang memberitahu. Cukup saling merasakan. Ah.

Hujan ketiga, sementara untuk yang terakhir:

Namanya Puisi. Kenapa begitu? Dia penyair. Pandai mengolah kata sampai aku serasa di surga. Semua orang taulah begaimana aku sangat menghargai sebuah bahasa. Bagiku itu lebih jujur dari sebuah kata-kata. Saat menemuiku pertama kali, persis seperti si hujan pertama: Dalam kekalutan besar. Tpi ini beda, dia labih kekanakan. Oh iya, lupa aku perkenalkan. Wajahnya kalem. Tidak begitu tinggi. Satu hal yang membuatku kadang geli sendiri jika harus membayangkan dengannya: Dia putra sulung seorang Ustadzku di pondok dulu. Dari sisi ini, kadang aku sedikit berharap lebih banyak. Tapi apalah arti nasab. :D Dia orang yang jujur, mengaku masih juga mencintai perempuannya yang pertama. Aku sih tak masalah. Kita jalani saja apa adanya. Sederhana. Yang penting bisa saling bertukar bahagia.

Untuk ketiga hujan, aku bersyukur sama Tuhan. Dulu kupikir tak akan pernah kutemukan makhluk-makhluk yang mau serius dan tak main-main di depanku. Thank’s God. Tapi sama sekali aku belum berani menyematkannya di sudut-sudut kosong di lemari dada. Aku belum yakin. Apalagi mengingat tanahku masih menggenang, baru saja banjir oleh lelaki bernama Sandal. Tentang sosoknya, tak perlu kuceritakan di sini. Kurasa tulisan-tulisan sebelumnya murni tentangnya yang kuistimewakan, sendirian. Intinya dia lelaki yang membuatku tak mau berhenti tersenyum dalam sebuah ingatan. 

Tanpa mau dianggap gila meski setiap saat aku terbahak sendirian saat mengingatnya. Sandal Oh Sandal.

Percaya atau tidak, saat menulis ini, di luar mendadak hujan. Spontan tanahku basah. Sebasah hati pertama yang masih berusaha kupegang erat: Al.

11 Juni 2014

Secangkir Coklat Surabaya.

Aku Curiga.

Tentangku yang akhir-akhir ini sudah membosankan atau sudah sangat tak menyenangkan, itu wajar. Sebab kamu manusia pada umumnya yang menurut temanku memang memiliki titik jenuh itu. Barangkali aku saja sebagai entah makhluk mana merasa tersanjung terlalu besar dulunya. Padahal mungkin memang tak pernah ada cinta.
          

Seketika aku ingin memotong gigi geraham agar tak sedikitpun aku menggeram saat tau aku terabaikan untuk sebuah kesenangan yang baru saja kau dapatkan. Mungkin.
          

Temanku bilang, tingkat kepekaan seorang wanita jauh lebih kuat dibanding lelaki manapun. Dan ia buktikan setelah mengamatiku selama berbulan-bulan. Kali ini aku mau menyetujui seratus delapan puluh persen: Aku peka. Bahkan sudah sejak lama aku berpikir apa yang tak pernah kamu pikirkan. Kamu sedang sama yang lain kan? Entah mau kau istilahkan apa, saudara, tetangga atau apalah. Intinya kau sedang menikmati sebuah kesenangan baru.
         

Awalnya aku diam saja, menjalankan titah seorang perempuan baik yang meski pada suatu saat harus rela dibilang begok dan goblok. Aku tak pernah menyunting apapun privasimu, karena kutahu kau tak suka itu. Lama kelamaan, berdiam serasa membunuhku pelan-pelan. Karena aku harus memperjuangkanmu sendirian.
          

Aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Aku tak suka basa-basi. Aku tau. Kamu selingkuh. Titik.          Kupikir tak boleh memanjangkan praduga sampai ke titik-titik yang mengancam kita. Tapi justru kecurigaan awal itulah yang berhasil mendasari isu menjadi fakta. Kau tau aku berasal  dari sebuah kecurigaan. Tapi nyatanya benar kan? Lalu sekarang aku bisa apa? Menuduhmu dengan mata menuding tepat di kepalamu? Kurasa setelahnya aku dipecat dari komunitas perempuan baik-baik.
         

Kau tau aku paling takut dan enggan mengambil sebuah keputusan yang cukup memberatkan. Aku tak mau jadi subyek yang pertama melepaskan. Apalagi jika harus membebanimu tuduhan. Kutahu kamu pintar mengelak dan mengembalikan segala sesuatunya seperti tak ada apa-apa. Aku bahkan dengan sangat bangga tampak bodoh di depanmu untuk cari aman. Siapa yang pengecut di sini? Aku yang tak mampu jadi diri sendiri atau kamu yang tugasnya hanya mengibuli? Aku lebih memilih disakiti daripada harus menyakiti. Tapi akupun tidak yakin aku baik-baik saja dalam bertahan. Lalu aku harus gimana, Al? Aku perlu lari ke langit ke tujuh untuk mencari sebuah kejujuran?
         

Dalam hal ini sama sekali aku tak pernah takut dilepaskan. Bahkan tak jarang aku malah mendoakan. Aku hanya ingin bebas dengan rasaku, Al. Karena saat ada yang saling melepas, segala halnya murni menjadi hakku. Cinta, cemburu, rindu dan apapun itu murni bebas kumiliki kapan saja tapi dengan catatan tanpa kau tau. Kadang aku berfikir sebaiknya begitu. Daripada harus sok memiliki tapi berani menyakiti.
          


Tuhan, otakku sedang acak-acakan, amburadul dan tak karuan.
14 Juni 201400:07

Kamis, 04 Desember 2014

Kuberinama Kau Alam.

Selamat siang, semesta!
Selamat siang, alam!
Selamat siang, angin!
Selamat siang, dingin!
Selamat siang, Al!

Aku selalu mengingat dengan jelas beberapa hal yang baru kudengar tapi bisa mempengaruhi mindsetku dari sebelumnya. Seperti sehari sebelum aku menulis ini, aku kembali disadarkan betapa segala yang ada itu mampu hidup. Maka jangan tanya mengapa saat aku mulai bosan berkomunikasi dengan manusia.

Tapi sebelum itu, aku bersusah payah mengkorelasikan apa yang dibicarakan dosenku panjang lebar dengan satu hal yang selalu kuingat entah dimana dan waktunya kapan: kamu.

Kamu tau? Semua yang ada di alam ini bisa kita ajak komunikasi. Sekalipun mereka tak pandai merespon dan membuat kita mengangguk-angguk pasti. Bicara dengan alam tentu semakin membuat kita digandrungi banyak hal, tapi percayalah alam akan menjawab tidak dengan bahasa dan perkataan. Melainkan dengan kenyatan.

Lalu kalau tumbuhan saja bisa lebih subur saat dalam proses penanamannya selalu dipuji dan diajak bicara, kenapa kamu tidak? :p
Finally, aku bertekad akan semakin gila menjadikanmu objek dalam setiap cerita. Menceritakanmu banyak hal tanpa khawatir kamu tak mendengar. Aku semakin bertekad mengagumimu sedemikian rupa. Sebab aku percaya pada akhirnya kamu akan paham seberapa sulit saat kamu menjadi objek yang ditinggalkan. :)

#withlove

Minggu, 30 November 2014

December Wish.

Selamat pagi Desember..

Ini bulan yang kutunggu-tunggu selama empat bulan terakhir. Penasaran dengan penyambutan hati sendiri. Sebab tak ada ingatan yang bersedia dianggurkan di tong sampah. Dia dengan kurang ajarnya memaksa si pemilik kembali memikirkannya. Tak peduli sesulit apa kondisi hati selama proses itu. Ada yang tahu? Di bulan ini peristiwa-peristiwa menyebalkan sekaligus membahagiakan mulai terjadi. Dua tahun yang lalu. Awalnya tak ada yang mengira pada akhirnya kita akan saling menyemangati, menasihati, lalu menyakiti. Haha.

Tak ada yang kulupa. Mulai dari naik ke lemari untuk mendengar suara jelek yang pada akhirnya menjadi suara paling merdu sedunia, sampai mulai mencari panggilan keren tapi nggak norak. Kita kebingungan. Setiap jam berganti panggilan. Lalu?







Sebentar, saya tidak bisa meneruskan cerita. :'(

Senin, 04 Mei 2015

Diposting oleh Unknown di 02.24 0 komentar
Ini adalah bulan istimewa bagi Surabaya dan segenap penduduknya.
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung

Menggodok Mie #1

Diposting oleh Unknown di 02.09 0 komentar


“Siapa sangka yang akan hadir di masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”

@Untuk kita yang the first sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
                Kamu asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku- dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku.  Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.            

Kita bertemu tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja. Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.

Tigapuluh menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala. Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.

“Nggak apa kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.

Kamu mengangguk. Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan mungkin sampai sekarang.

Entah bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain. Akutak ingat jelas pastinya.

Aku pun kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.

***

Tiga tahun berlalu.

Kawat: Apa kabar, Le?

Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis jelas di akunku?

La’la’: Baik.

Aku menjawab simpel. Buru-buru menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan banyak pertanyaan lainnya.
                 
Kita lalu melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.

Sebulan.

Dua bulan

Tiga bulan.

Kamu sedang dalam masalah besar.

Bersambung.


Kamis, 19 Maret 2015

Bukan Surat Cinta

Diposting oleh Unknown di 00.25 0 komentar

Percaya atau tidak, aku tercenung tiga puluh menit sebelum memulai tulisan ini. Bingung harus memulai dengan sapa ceria, datar-datar saja atau bahkan menampakkan saja bahwa aku belum sepenuhnya berhenti menjadi perempuan insomnia setiap malamnya. Semua kata berlomba menjadi yang pertama dalam tulisan. Semua peristiwa meronta menjadi yang paling awal diceritakan. Seandai otakku berbahan beling, sudah kupecahkan jauh sebelum aku berkeinginan menuliskan keadaan paling mematikan ini: mematikan karena harus ada banyak hal yang sengaja aku hadirkan dalam ingatan. Mulai dari rasa kenyang yang kuperoleh tanpa satupun suapan, sampai satu jam setelah melahap beberapa menu masakan, perutku masih merasa kelaparan.

Otakku masih membayangkan banyak hal yang berlalu-lalang sejak beberapa bulan terakhir. Tentang tips mengelus dada yang lebih kreatif, semangat bergabung bersama banyak orang yang kerjanya hanya baca tulis, sampai pada penyusunan resolusi yang ujung-ujungnya mendapat umpatan sendiri dari otak dan hati bahwa rancanganku tak lebih dari sekedar resolusi basi.

Awalnya aku ingin ngakak saja, menyadari betapa aku merasa satu-satunya perempuan termalang di dunia-setidaknya itu lebih menguasai pikiranku beberapa waktu lalu- yang sudah tidak percaya bahwa yang berbuat baik pada sesama dan mengasihi hewan lebih dari manusia lainnya, akan dihampiri seorang pangeran berkuda putih yang rupawan dan sangat keren nama panggilannya.

Aku sudah mensugestikan diri sendiri bahwa di luar sana semua mata lelaki berbentuk sama: KOTAK. Padahal temanku bilang, Spongebob yang tubuhnya kotak saja masih memiliki mata bulat sempurna. Tapi entah, intinya aku merasa mata mereka tidak hanya akan melukai sepasang mata lain yang memandangnya sekali, melainkan berkali-kali. Seperti sebuah kotak dengan empat sudutnya, satu sudut tobat dengan perlakuannya, sudut lain berebut menagih jatahnya. Atau pikiran picik ini datang setelah aku divonis trauma stadium empat. Entah.

Tiga puluh menit berlalu dengan kecamuk pikiran yang lebih buruk dari kata ‘amburadul’. Berputar mengelilingi satu titik paling membahayakan untuk dipandang, dikenang apalagi diharapkan. Meski itu-itu saja yang sampai saat ini masih kulakukan. Semuanya masih berotasi sempurna.
Akhirnya satu keputusan berani kulontarkan: Tak ada tulisan yang lebih bernyawa kecuali jika itu tentang kekonyolanku yang kuanggap terhormat. Dan tak ada tulisan konyol kecuali jika pembacanya kukhususkan untukmu saja. Ya. Tulisan ini untukmu: yang seharusnya naik menara Eiffel, atau minimal ke Monas untuk rasa syukurmu karena kehadiranku yang lebih mirip robot perempuan dengan perasaan lebih kuat dari manusia lainnya lalu menyukaimu sedemikian hebatnya. Atau kamu malah merasa harus meratap di pekuburan sempit pinggiran kota karena aku kau anggap sosok manusia yang bukan main ngototnya memilihmu dalam setiap rangkaian doanya. Dan kamu menyesal pernah berjabat tangan dengannya. Aku tak tau. Aku takut mempertanyakan tanggapanmu.

Hei, aku berbasa-basi terlalu panjang. Bukan karena sok merhasiakan, tapi memang sambil lalu memikirkan jenis tulisan apalagi yang harus kusampaikan. Model marah-marah sudah terlalu biasa untuk dipublikasikan, sok melankolis juga sudah berpuluh-puluh halaman yang akan kamu temukan. Yang pasti tulisan ini akan lebih memahamkanmu bagaimana aku menyihir diri menjadi pemeran tangguh seperti dalam film-film heroik beberapa bulan terakhir ini. Melawan banyak monster yang lebih membahayakan dari Griever, lebih mematikan dari tatapan Gorgon dan lebih menyeramkan dari Banshee. Monster-monster itu muncul dari keragaman pikiranku sendiri. Bagaimana monster cemburu tak tepat waktu, rasa sedih yang berlarut-larut dan ketidak-mampuanku berdamai dengan kenyataan jelas akan sangat ganas menggerogoti hati tanpa kenal ampun. Aku sudah lama berjuang melawan itu semua. Hasilnya? Dengan sangat percaya diri-tapi tidak sombong-aku berani jamin bahwa aku sudah memenangkannya.
                                                                                                          ***
Bicara tentang kamu memang unik. Seunik pernak-pernik peninggalan para keluarga kerajaan yang hanya bisa kita lihat di balik kaca sedemikian tebalnya, tanpa sedetikpun para penjaga museum mengizinkan kita memegangnya. Kamu hanya bisa kuinjak kakinya lewat lagu yang pernah kamu nyanyikan, hanya bisa kuacak rambutnya melalui foto pajangan di dinding kamar dan hanya bisa kupeluk lewat ingatan yang mengoyak kesabaran.
Aku tidak perlu khawatir ditangkap pihak kepolisian saat harus mengusut tindakanmu yang kuanggap sangat kriminal. Membunuh dengan tragis rasa sabar dan keceriaanku untuk berbulan-bulan. Tapi sebagai keluarga korban, sama sekali aku tak menyimpan dendam maupun  membencimu dengan sangat tajam. Aku tidak bisa lakukan itu. Kamu masih saja rutin kurapal dalam doa dan kupanggil-panggil tiap pagi tanpa peduli kamu sesibuk apa. Aku dibilang tidak paham aturan mungkin sangat benar, bahkan jagonya.

Lambat laun aku merasa harus merenovasi sukaku dari yang lumrah dialami teman-teman sebayaku menjadi yang serba tangguh tapi mengacak-acak hati seperti dalam beberapa kisah yang ditulis Dee dalam bukunya, Rectoverso. Aku harus mengaplikasikan lirik lagu dari penyanyi satu-satunya yang paling aku gilai suaranya di Indonesia. Kamu taulah lagunya apa dan milik siapa. Aku harus. Aku harus. Banyak hal yang kutuntutkan sendiri untuk diri sendiri. Cukup caranya yang wajib lebih kuperbaiki. Sedangkan doa? Aku tak berani mengotak-atiknya. Kamu masih tetap rapi dalam susunan fatihah setelah para guru dan kedua orang tua. Tidak berlebihan, kan? Aku tidak menyangkal jika banyak yang bilang aku goblok memperjuangkan ini sendirian. Tapi entah kenapa, keyakinanku berdiri tegak dengan sangat angkuhnya: bahwa kamu tetap lelaki pertama yang akan kuinjak kaki dan kuacak rambutnya setelah saudaraku (ssst, yang memiliki inisial cahaya boleh ngerasa tercubit lengannya :D) menyanyikan All of Me dan Thinking Out Loud dalam upacara pengukuhan aku-kamu menjadi kita. *haha. Nggak ada yang ngelarang mimpi kita sebegini gilanya, kan?*

Aku selalu kehabisan cara menceritakanmu pada semesta. Sebab kupercaya kamu punya banyak ilmu mistis yang mampu membuatku ngakak dan meratap di waktu yang sama. Yang selalu punya alasan kenapa harus kusebut namamu menjelang tidur setiap malamnya. Yang selalu ada dalam rentetan daftar masa depan bahagia. Hahaha. Aku gila? Boleh saja. Tapi aku punya alat lebih besar dari earphone yang bisa menutup rapat telinga. Mau kamu tertawa ya aku ikut tertawa. Kamu terpesona ya aku tujuh kali melompat bahagia. :D

Sebelum kuakhiri surat yang hampir saja kukirim ke rumah Juliet di sana, anggap saja tulisan ini sebagai jawaban dari tanya yang kamu lontarkan beberapa jam sebelumnya. Jika kamu peka dan mau berbaik hati untuk kesekian kalinya, aku mau jawaban dengan pertanyaan yang sama. ‘Bagaimana bentuk kakiku dalam kacamat 3Dmu?’ :D
                                                                                                    SEKIAN

*Kita bertemu di alphabet selanjutnya. Salam dua kaki!. Tendang!. Kita bahagia!
**Ditulis dalam keadaan yang hanya bisa dideskripsikan para peri kepada Cinderella dan dalam waktu yang hanya bisa dijelaskan oleh Doraemon kepada Nobita.

Minggu, 14 Desember 2014

Hujan Tiga Rintik

Diposting oleh Unknown di 18.00 0 komentar

Kau tau kenapa turunnya air yang bersamaan dinamakan hujan? Aku sendiri tak tau mengapa. Yang pasti, saat ada yang turun bersamaan, kuberinama itu hujan.

Baiklah, lalu ini tentang cerita hujan. Bukan dari langit, bukan dari hasil uap. Tapi ini murni beberapa hal yang mendadak turun bersamaan. Entah darimana, tiba-tiba saja hatiku membasah.
Ya, ini tentang hujan. Tetesan bersamaan yang turun berupa mata-mata menyenangkan. Aku akan menceritakan dari awal, sampai klimaks yang akan membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Dari Hujan pertama:

Namanya Pablo. Lelaki realis dengan model rambut tipis. Agak hitam tapi sangat manis. Sungguh. Dia manis. Sepanjang hidup, hanya sekali aku melihatnya secara langsung. Itupun sudah beberapa tahun yang lalu. Dan ada yang tak bisa dipungkiri dalam teks doa yang setiap malam aku rapalkan. Aku menginginkan untuk menjumpainya kembali entah kapan. Dia menemuiku saat dia dalam kekalutan besar. Saat benar-benar tak punya kekuatan. Sebagai teman yang baik, aku berusaha menyihir diriku sedemikian rupa agar tampak menyenangkan dan sedikit membuatnya merasa punya pegangan. Aku sok bijak, sok sabar, sok baik dan sok-sok yang lain. Entah dengan cara apa dia mulai menghargaiku dan tak sesederhana hanya mengakui keberadaanku sebagai teman. Lebih dari itu. Tapi dasar dia si lelaki matang, caranya sungguh tak pasaran. Beberapa kali aku hanya berani menyimpulkan, dengan pengamatan yang bisa jadi itu fatal: Kurasa dia mulai menyukaiku. Bukan cinta. Sekedar suka. Berulangkali dia bilang aku satu-satunya teman yang paling enak diajak bicara, karena aku memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa, menurutnya. Soal kekanakanku memang dia selalu mempermasalahkan, barangkali tak sesuai dengan isi otaknya yang menurutku bisa bikin seseorang lebih tua dari biasanya. Tapi secara keseluruhan, dia hanya tak punya cara mengungkapkan. Entah menunggu atau memang tak ada sesuatu.

Hujan kedua:

Namanya Hati. Sebenarnya aku ragu dengan penamaan itu. Tapi biarlah, sebagai anak Sastra Arab, aku gunakan sedikit mufrodat yang sudah sejak SD Ibu guru ajarkan. Aku ambil dari nama aslinya lalu kuterjemahkan. J Dia labih deras dari hujan pertama, entah wajah dan segala bentuk perhatiannya. Tak cuma manis, yang ini sudah banyak diidolakan teman-teman sekampus apalagi mahasiswa baru. Oh. Orangnya dingin. Tak punya selera humor yang tinggi. Tapi enak diajak ngobrol. Aku kenal dia dari salah satu organisasi yang aku geluti di fakultas. Sampai di tahun kedua, kita sama berada di dua organisasi yang sama. Pernah sekali aku benar-benar jadi partner kerjanya. Dia ketua, aku sekretarisnya. Mungkin dari sanalah cerita ini bermula. Pepatah lama memang selalu benar adanya, bahwa rasa suka akan datang saat sudah sering bersama. Kali ini aku berani mengiyakan. Karena sangat jelas dia menampakkan tanda-tanda yang membuatku tak bisa tidur siang malam. Hingga pada suatu sore, “Musuhan itu penting. Sebab aku selalu tegerak untuk memperhatikan setiap gerakmu. Dan itu sekuat tenaga berusaha aku sangkal, tak boleh ada suatu hubungan dengan saudara seatap”. Nah, aku sebagai perempuan biasa yang cenderung labil, mulai memikirkan kata-katanya dengan matang. Lama kita tak saling sapa. Bertemupun hanya sekedar nyubit, mandang dan mengacak kepala. Tak ada bahasa, lalu saling pergi meninggalkan. Itu yang aku rasakan sangat menyulitkannya. Aku sementara tidak masalah. Meski kutahu dia mati-matian tak mau menggubris perasaannnya sendiri terhadapku. Kadang aku berpikir, perlukah aku keluar dari organisasi untuk membuat hatinya lebih tenang dan nyaman? Tapi dasar dia bisa membaca pikiranku, beberapa bulan kemudian, dia kembali mengakrabiku seperti semula. Hingga sekarang, seperti ada suatu hal yang sama kita tahu, tanpa harus ada yang memberitahu. Cukup saling merasakan. Ah.

Hujan ketiga, sementara untuk yang terakhir:

Namanya Puisi. Kenapa begitu? Dia penyair. Pandai mengolah kata sampai aku serasa di surga. Semua orang taulah begaimana aku sangat menghargai sebuah bahasa. Bagiku itu lebih jujur dari sebuah kata-kata. Saat menemuiku pertama kali, persis seperti si hujan pertama: Dalam kekalutan besar. Tpi ini beda, dia labih kekanakan. Oh iya, lupa aku perkenalkan. Wajahnya kalem. Tidak begitu tinggi. Satu hal yang membuatku kadang geli sendiri jika harus membayangkan dengannya: Dia putra sulung seorang Ustadzku di pondok dulu. Dari sisi ini, kadang aku sedikit berharap lebih banyak. Tapi apalah arti nasab. :D Dia orang yang jujur, mengaku masih juga mencintai perempuannya yang pertama. Aku sih tak masalah. Kita jalani saja apa adanya. Sederhana. Yang penting bisa saling bertukar bahagia.

Untuk ketiga hujan, aku bersyukur sama Tuhan. Dulu kupikir tak akan pernah kutemukan makhluk-makhluk yang mau serius dan tak main-main di depanku. Thank’s God. Tapi sama sekali aku belum berani menyematkannya di sudut-sudut kosong di lemari dada. Aku belum yakin. Apalagi mengingat tanahku masih menggenang, baru saja banjir oleh lelaki bernama Sandal. Tentang sosoknya, tak perlu kuceritakan di sini. Kurasa tulisan-tulisan sebelumnya murni tentangnya yang kuistimewakan, sendirian. Intinya dia lelaki yang membuatku tak mau berhenti tersenyum dalam sebuah ingatan. 

Tanpa mau dianggap gila meski setiap saat aku terbahak sendirian saat mengingatnya. Sandal Oh Sandal.

Percaya atau tidak, saat menulis ini, di luar mendadak hujan. Spontan tanahku basah. Sebasah hati pertama yang masih berusaha kupegang erat: Al.

11 Juni 2014

Secangkir Coklat Surabaya.

Aku Curiga.

Diposting oleh Unknown di 17.42 0 komentar

Tentangku yang akhir-akhir ini sudah membosankan atau sudah sangat tak menyenangkan, itu wajar. Sebab kamu manusia pada umumnya yang menurut temanku memang memiliki titik jenuh itu. Barangkali aku saja sebagai entah makhluk mana merasa tersanjung terlalu besar dulunya. Padahal mungkin memang tak pernah ada cinta.
          

Seketika aku ingin memotong gigi geraham agar tak sedikitpun aku menggeram saat tau aku terabaikan untuk sebuah kesenangan yang baru saja kau dapatkan. Mungkin.
          

Temanku bilang, tingkat kepekaan seorang wanita jauh lebih kuat dibanding lelaki manapun. Dan ia buktikan setelah mengamatiku selama berbulan-bulan. Kali ini aku mau menyetujui seratus delapan puluh persen: Aku peka. Bahkan sudah sejak lama aku berpikir apa yang tak pernah kamu pikirkan. Kamu sedang sama yang lain kan? Entah mau kau istilahkan apa, saudara, tetangga atau apalah. Intinya kau sedang menikmati sebuah kesenangan baru.
         

Awalnya aku diam saja, menjalankan titah seorang perempuan baik yang meski pada suatu saat harus rela dibilang begok dan goblok. Aku tak pernah menyunting apapun privasimu, karena kutahu kau tak suka itu. Lama kelamaan, berdiam serasa membunuhku pelan-pelan. Karena aku harus memperjuangkanmu sendirian.
          

Aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Aku tak suka basa-basi. Aku tau. Kamu selingkuh. Titik.          Kupikir tak boleh memanjangkan praduga sampai ke titik-titik yang mengancam kita. Tapi justru kecurigaan awal itulah yang berhasil mendasari isu menjadi fakta. Kau tau aku berasal  dari sebuah kecurigaan. Tapi nyatanya benar kan? Lalu sekarang aku bisa apa? Menuduhmu dengan mata menuding tepat di kepalamu? Kurasa setelahnya aku dipecat dari komunitas perempuan baik-baik.
         

Kau tau aku paling takut dan enggan mengambil sebuah keputusan yang cukup memberatkan. Aku tak mau jadi subyek yang pertama melepaskan. Apalagi jika harus membebanimu tuduhan. Kutahu kamu pintar mengelak dan mengembalikan segala sesuatunya seperti tak ada apa-apa. Aku bahkan dengan sangat bangga tampak bodoh di depanmu untuk cari aman. Siapa yang pengecut di sini? Aku yang tak mampu jadi diri sendiri atau kamu yang tugasnya hanya mengibuli? Aku lebih memilih disakiti daripada harus menyakiti. Tapi akupun tidak yakin aku baik-baik saja dalam bertahan. Lalu aku harus gimana, Al? Aku perlu lari ke langit ke tujuh untuk mencari sebuah kejujuran?
         

Dalam hal ini sama sekali aku tak pernah takut dilepaskan. Bahkan tak jarang aku malah mendoakan. Aku hanya ingin bebas dengan rasaku, Al. Karena saat ada yang saling melepas, segala halnya murni menjadi hakku. Cinta, cemburu, rindu dan apapun itu murni bebas kumiliki kapan saja tapi dengan catatan tanpa kau tau. Kadang aku berfikir sebaiknya begitu. Daripada harus sok memiliki tapi berani menyakiti.
          


Tuhan, otakku sedang acak-acakan, amburadul dan tak karuan.
14 Juni 201400:07

Kamis, 04 Desember 2014

Kuberinama Kau Alam.

Diposting oleh Unknown di 01.30 0 komentar
Selamat siang, semesta!
Selamat siang, alam!
Selamat siang, angin!
Selamat siang, dingin!
Selamat siang, Al!

Aku selalu mengingat dengan jelas beberapa hal yang baru kudengar tapi bisa mempengaruhi mindsetku dari sebelumnya. Seperti sehari sebelum aku menulis ini, aku kembali disadarkan betapa segala yang ada itu mampu hidup. Maka jangan tanya mengapa saat aku mulai bosan berkomunikasi dengan manusia.

Tapi sebelum itu, aku bersusah payah mengkorelasikan apa yang dibicarakan dosenku panjang lebar dengan satu hal yang selalu kuingat entah dimana dan waktunya kapan: kamu.

Kamu tau? Semua yang ada di alam ini bisa kita ajak komunikasi. Sekalipun mereka tak pandai merespon dan membuat kita mengangguk-angguk pasti. Bicara dengan alam tentu semakin membuat kita digandrungi banyak hal, tapi percayalah alam akan menjawab tidak dengan bahasa dan perkataan. Melainkan dengan kenyatan.

Lalu kalau tumbuhan saja bisa lebih subur saat dalam proses penanamannya selalu dipuji dan diajak bicara, kenapa kamu tidak? :p
Finally, aku bertekad akan semakin gila menjadikanmu objek dalam setiap cerita. Menceritakanmu banyak hal tanpa khawatir kamu tak mendengar. Aku semakin bertekad mengagumimu sedemikian rupa. Sebab aku percaya pada akhirnya kamu akan paham seberapa sulit saat kamu menjadi objek yang ditinggalkan. :)

#withlove

Minggu, 30 November 2014

December Wish.

Diposting oleh Unknown di 17.41 0 komentar
Selamat pagi Desember..

Ini bulan yang kutunggu-tunggu selama empat bulan terakhir. Penasaran dengan penyambutan hati sendiri. Sebab tak ada ingatan yang bersedia dianggurkan di tong sampah. Dia dengan kurang ajarnya memaksa si pemilik kembali memikirkannya. Tak peduli sesulit apa kondisi hati selama proses itu. Ada yang tahu? Di bulan ini peristiwa-peristiwa menyebalkan sekaligus membahagiakan mulai terjadi. Dua tahun yang lalu. Awalnya tak ada yang mengira pada akhirnya kita akan saling menyemangati, menasihati, lalu menyakiti. Haha.

Tak ada yang kulupa. Mulai dari naik ke lemari untuk mendengar suara jelek yang pada akhirnya menjadi suara paling merdu sedunia, sampai mulai mencari panggilan keren tapi nggak norak. Kita kebingungan. Setiap jam berganti panggilan. Lalu?







Sebentar, saya tidak bisa meneruskan cerita. :'(

 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang