Jumat, 20 September 2013

Saat Tuhan Menciptakan Seorang Ibu




Saat menciptakan seorang Ibu, Tuhan bekerja overtime pada hari ke-6. Seorang malaikat menghampiri dan berkata lembut:

“Tuhan, banyak nian waktu yang Engkau habiskan untuk menciptakan ‘Ibu’ ini?”

Tuhan menjawab pelan, “Tidakkah kau lihat perincian yang harus dikerjakan? Ibu ini harus terbuat dari bahan yang bisa divuvi tapi bukan dari plastik. Harus terdiri dari 200 bagian yang lentur, lemas dan tidak cepat capai. Ia harus bisa hidup dari sedikit the kental dan makanan seadanya. Memiliki telinga yang lebar untuk menampung keluhan. Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan kaki-kaki yang keseleo, lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah, dan enam pasang tangan.”

Malaikat itu menggeleng-gelenkan kepalanya. “Enam pasang tangan?”

“Tentu saja! Bukan tangan yang merepotkan melainkan tangan yang melayani sana-sini, mengatur segalanya menjadi lebih baik,” jawab Tuhan.

“Juga tiga pasang mata yang harus dimiliki seorang Ibu”

“Bagaimana modelnya?” malaikat semakin heran.

Tuhan mengangguk-angguk, lalu ucapnya, “Sepasang mata yang dapat menembus ‘pintu’ yang tetutup rapat dan bertanya, ‘apa yang sedang kau lakukan di dalam situ?’ padahal, sepasang mata itu sudah mengetahui jawabannya. Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di belakang kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa menoleh. Artinya, ia dapat melihat apa yang sebenarnya tak boleh ia lihat. Dan sepasang mata ketiga untuk menatap lembut seorang anak yang mengakui kekeliruannya. Mata itu haarus bisa bicara! 

Mata itu harus berkata, ‘saya mengerti dan saya sayang padamu!’ meskipun tidak diucapkan sepatah katapun.”

“Tuhan,” kata malaikat itu lagi, “istirahatlah!”

“Tidak bisa! Saya sudah hampir selesai. Ia harus bisa menyembuhkan diri sendniri kalau ia sakit. Ia harus bisa memberi makan enam orang dengan setengah ons daging. Ia juga harus menyuruh anak umur 9 tahub mandi pada saat anak itu tidak ingin mandi.”

Akhirnya, malaikat membalik-balikkan contoh Ibu dengan perlahan. “Terlalu lunak!” katanya memberi komentar.

“Tetapi kuat!” kata Tuhan bersemangat, “tak akan kau bayangkan betapa banyaknya yang bisa ia tanggung, pikul dan derita!”

“Apakah ia dapat berpikir?” tanya malaikat lagi.

“Ia bukan saja dapat berpikir, tapi ia juga dapat memberi gagasan, ide dan berkompromi.”kata Sang Pencipta.

Akhirnya, malaikat menyentuh sesuatu di pipi. “Ah, ada kebocoran di sini!”.

“Itu bukan kebocoran,” kata Tuhan, “itu adalah tempat air mata.”

“untuk apa air mata?” tanya malaikat sekali lagi.

“Air mata adalah cara untuk Ibu mengekspresikan kesenangannya, kesedihannya, kekecewaannya, kesakitannya, kesepiannya, kesulitannya dan kebanggaannya.”

“Tuhan memang ahlinya…” kata malaikat, pelan.

*Dari buku Malaikat Kecilku. J


Kamis, 19 September 2013

Labirin Rindu.. :D


Saat gamang mendekap, rasanya tak begitu yakin mampu bertanya, kenapa setiap musim yang terlalui tak pernah meninggalkan namanya…Seperti teduh angin sore sesekali luruhkan helai daun yang berserak dan lembab oleh hujan…
………………………
Ada cerita kembali terdengar seperti suara hujan jatuh di dedaunan, tanah dan atap rumah…serupa irama detik jam atau suara helaan nafas….Sunyi dan selarik puisi tentangmu menyekapku dalam labirin rindu yang panjang… Sekejap menjadi lengkap ketika aku berpapasan dengan rasamu.. Ah… cinta datang tanpa memberi kita waktu yang panjang untuk membicarakannya, katamu menggerimis serupa kecupan….
……………………….
Ku urai cerita ini sekedar mengenangmu dalam sebuah kerinduan yang paling hening, berharap hatimu menyampaikan sesuatu dengan sederhana… kelak saat malam mengendap senyap, aku dan kamu temukan ruang yang cukup mesra untuk menafsirkan sebentuk cinta lewat puisi dan juga doa…

Selasa, 17 September 2013

Aku Dan Alam..



Setiap kali dalam perjalanan kemana-mana, hal yang paling menyenangkan untuk dilihat adalah pemandangan  dipesisir pantai, pecahan ombak dan sinar matahari yang menyinari laut dengan kemilaunya. Yang membuatku takjub pada mereka mungkin hanya lewat di kehidupanku hanya beberapa saat, yang jadi 
pertanyaan lalu buat apa mereka ada untukku untuk memandang hala-hal yang indah dalam isi perjalanan ini? 

Dan mereka pun tak pernah menyadari aku berada dia antara mereka untuk memandangnya, untuk apa aku diciptakan untuk mereka yang hanya menikmati saja? Sungguh tak pernah akan sampai jika akal yang berbicara dengan hipotesis dihasilkan menggunakan ilmu dan otak yang penuh dengan batasan ini. Yang aku tahu bahwa tidak ada yang diciptakan untuk suatu kesia-siaan semuanya pasti ada manfaatnya. 

Tapi setiap manusia menjadi aktor utama untuk ceritanya sendiri, ya sudah pasti. Tetapi dibalik itu juga publikasi juga dibutuhkan untuk sharing bersama. Sementara dalam mengaktorkan diri sendiri sudah dipastikan semua orang-orang yang berada di sekitar-nya hanya figuran saja dalam sebuah naskah ataupun sebuah bidikan lensa foto. Sedangkan akhir sebuah cerita ditentukan oleh individu masing-masing. Mungkin itu alasan mengapa manusia harus menghargai dunia yang penuh serba serbi flora, fauna dan imajinasi dalam sebuah karya, ataupun sebuah perbuatan yang pastinya dunia sebagai objek untuk mengupas segala yang di alam bumi ini. Saya tidak berhipotesis ria, dan saya tidak memainkan kata-kata dalam bentuk tulisan dan saya tidak bisa untuk itu, tetapi hanya sedikit menulis untuk diriku pribadi dan saya berterima kasih kalau seandai ada yang membaca tulisan amburadul ini.

Save The World

Aku Menulis. Tak Perlu Alasan!

“Untuk apa kau menulis?” katanya.

Selanjutnya hanyalah kata-kata;

“Menulis hanya membuang-buang waktumu. Tak berguna!”

“Bukan penulis namanya jika tak pernah menerbitkan buku!”

“Apa bangganya menjadi penulis?”

“Penulis hanyalah cita-cita usang yang tak pantas disandingkan dengan pekerjaan lainnya. Kau tahu? Masih banyak pekerjaan lain di dunia ini. Masih banyak yang harus kau pikirkan selain tulisan-tulisan bodohmu itu! Buka matamu! Banyak pekerjaan lain menantimu. Apa pentingnya menulis? Cukup kau berkata-kata dalam hati dan pikiranmu saja. Tak perlu orang lain tahu. Cukup kau saja. Kau mengerti?! Tak usah berlebihan. Bergaya pintar tapi memuakkan. Kau tak sama dengan apa yang kau tulis!”

Aku diam dalam hening. Tapi aku lalu membunuhnya. Membunuhnya dengan tulisanku, tentunya. Tanpa darah, tanpa air mata. Tanpa ketakutan, tanpa rintihan. Aku hanya muak dengan caci makinya. Itu saja. Jadi cukuplah aku sumpal mulutnya dengan kertas dan pena.

Selasa, 03 September 2013

Bahagia.. :)

Telah kubilang berulangkali, mendengarkan suara hatiadalah hal ternyaman untuk kulakukan akhir-akhir ini. Mengajak hati berdialogserasa kita sukses menjadi perempuan paling bijak. Tak ada nada-nada egoismenimpali, semua murni dan alami dalam diri. Terkadang aku justru menyayangkan,kenapa tak dari dulu kesadaran ini kumiliki. Hingga mungkin aku tak tau apa itusakit hati..

Tapi tunggu sayang, aku ingin bernafas satu kalilagi. Mengingatkan otot-otot dan bagian tubuhku yang lain bahwa aku telahbenar-benar berdiri di siang bolong. Aku meyakinkan ini bukan mimpi. Inikeputusan yang kupilih sendiri. Tak ada alasan menyesali. Lebih baik menikmati.Tak usah neko-neko. Nikmati. Selebihnya menyadari bahwa harapan butuhdiseimbangkan dengan Doa. Aku percaya.

Kali ini mungkin aku harus meneriakkan pada bentuktubuh di depan datar cermin ini. Merasakan sakit adalah pilihan salah satunya. Taklagi mendapatimu yang juga berdiri untuk kulihat dalam cermin ini. Tak lagimenuakan lagu-lagu sampai pagi berembun. Tak lagi terbahak dengan kita yangterkatung menahan kantuk. Semuanya tidak lagi, eh sori, jarang barangkali.

Kau tau sikap seorang sahabat yang baru kenalan? Takjauh beda dengan kita sekarang, malu-malu. Kaku. Demi kerelaan orang tua dancita kau bilang. Aku manut saja. Mengalir. Tapi sudahlah, kurasa tak mengapa. Asalkita tetap saling percaya. Menangguhkan Doa sampai waktu yang tidak ditentukan.Aku dalah perempuan baik dalam penungguan. Sepertinya. Toh saat merindumu, akubisa dengan berani mengajak alam di sekitarku untuk menemaniku.

Kau tenang sayang, aku tak akan lagi menghayaldengan cara mereka kebanyakan. Kita punya cara sendiri untuk bahagia. Dan untukyang kesekian, aku mencintaimu. Itu saja.. :)



#Al_

Badai;


Terkadang, kehidupan ini melintasi badai.
Bagi beberapa orang, badai itu adalah penyakit yang datang dan diketahui, tanpa diingini.
Bagi beberapa orang yang lain, badai itu adalah kehilangan pekerjaan, diantara tumpukan tagihan dan hanya ada satu penghasilan.

Badai yang lain, bagi orang yang berbeda, keluarga yang terkoyak, tanpa tanda-tanda apapun.
Bagi anak-anak, badai adalah mendengar orang tua akan berpisah, dan mereka harus memilih daddy or mommy. Bagi remaja, badai mungkin saat putus cinta.
Badai adalah badai….


Kehidupan harus tetap dijalani. Beberapa kali dalam lintasan peristiwa, kita akan menghadapi badai-badai serupa. Sekali lagi, kecuali kita mau “quit” menyerah, maka, kita harus mampu terbang ditengah badai.

Menulis tentang ini, mengingatkan saya dengan beberapa hal yang pernah saya dengar, bahwa burung rajawali, adalah burung yang terbang lebih tinggi pada saat badai, dan luarbiasanya adalah kecepatannya bertambah, justru pada saat badai, walaupun ia tidak mengepakkan sayapnya.

Saya berpikir, dalam keadaan seperti ini, mungkinkah kita dapat melakukan sesuatu yang menghargai  perbedaan. Mungkin hanya bagi sedikit orang,… tetapi tetap lakukan saja.

Sekurangnya mari memberi arti diri kita dengan perbedaan itu..

Bangunkan Aku Ombak.. :)

Suara jangkrik masih nyaring terdengar, sayup gulita malam mencekik pergelangan kaki menahan langkah ku. Jam dinding menunjukan pukul 4 kurang saat aku keluar dari rumah tanpa mengabari ayah ibu. Perlu  sekitar 40 langkah untuk sampai ke tujuan selanjutnya. Rumah Al, begitu kumemanggilnya. Ia adalah sahabat bermain semenjak sembilan bulan yang lalu , lebih tua 1 tahun membuat-nya menjadi Abang untukku..

Aku ragu apakah Al sudah bangun atau belum, dari jauh pintu rumahnya masih tertutup. Belum lagi aku harus melewati sekolah tua yang katanya angker. Seolah langkah terbawa angin untuk terus lanjut kesana, membangunkan atau menjemput janji kemaren sore bersamanya. Main Kepantai Jam 4 Pagi.

Jarak yang bisa di bilang tak jauh dari pantai, membuat ombak terdengar jelas dan membangunkan ku subuh ini. Teringat janji kemaren yang mengajaknya ‘Olahraga’ jam 4 ke pantai. Maklum kami anak desa yang gak ada taman bermain disini.

Benar saja, Al dan Keluarganya belum bangun. Aku tak berani mengetok pintu atau mengucap salam. Ku duduk di depan pintu rumahnya yang tak berteras, melengkungkan lutut dan menyandarkan kepala di atasnya. Hingga ku dengar suara pintu terbuka di belakangku

Pelan ku bangunkan si Abangku, dan akhirnya terbangun meski dengan sedikit geliat malas. Tapi semangatku tiap minggu subuh untuk pergi kepantai menghapus kemalasannya.

Berdua dengannya , kami susuri jalan gelap menuju pantai kebanggaan. Bagaimana tidak bangga, ini adalah satu-satunya tempat paling menarik di desa kami. Gelap, Masih gelapp sekali. Beberapa rumah yang kami lewati sudah mengawali aktifitas seperti hari biasanya. Mencuci penggorengan dan panci yang di di bawahnya hitam di penuhi arang.

Ah… segar aroma pantai, desir anginnya memainkan ujung jilbab panjangku. Ombak Besar gagal menakuti kami yang larut akan indahnya alam. Sandal kami titipkan di pinggir pantai yang tak bertuan. Lanjut kami telusuri butiran pasir demi pasir, hingga matahari datang menemani kami.
——————————
Al, kapan kita bisa seperti itu lagi.Menikmati pantai sesubuh itu. Menjadikan pantai seperti hanya milik kita. Ombak,Tolong Panggil dan bangunkan kami lagi :)



*bisa saja hanya sekedar khayalan-

Jumat, 20 September 2013

Saat Tuhan Menciptakan Seorang Ibu

Diposting oleh Unknown di 20.17 0 komentar



Saat menciptakan seorang Ibu, Tuhan bekerja overtime pada hari ke-6. Seorang malaikat menghampiri dan berkata lembut:

“Tuhan, banyak nian waktu yang Engkau habiskan untuk menciptakan ‘Ibu’ ini?”

Tuhan menjawab pelan, “Tidakkah kau lihat perincian yang harus dikerjakan? Ibu ini harus terbuat dari bahan yang bisa divuvi tapi bukan dari plastik. Harus terdiri dari 200 bagian yang lentur, lemas dan tidak cepat capai. Ia harus bisa hidup dari sedikit the kental dan makanan seadanya. Memiliki telinga yang lebar untuk menampung keluhan. Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan kaki-kaki yang keseleo, lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah, dan enam pasang tangan.”

Malaikat itu menggeleng-gelenkan kepalanya. “Enam pasang tangan?”

“Tentu saja! Bukan tangan yang merepotkan melainkan tangan yang melayani sana-sini, mengatur segalanya menjadi lebih baik,” jawab Tuhan.

“Juga tiga pasang mata yang harus dimiliki seorang Ibu”

“Bagaimana modelnya?” malaikat semakin heran.

Tuhan mengangguk-angguk, lalu ucapnya, “Sepasang mata yang dapat menembus ‘pintu’ yang tetutup rapat dan bertanya, ‘apa yang sedang kau lakukan di dalam situ?’ padahal, sepasang mata itu sudah mengetahui jawabannya. Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di belakang kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa menoleh. Artinya, ia dapat melihat apa yang sebenarnya tak boleh ia lihat. Dan sepasang mata ketiga untuk menatap lembut seorang anak yang mengakui kekeliruannya. Mata itu haarus bisa bicara! 

Mata itu harus berkata, ‘saya mengerti dan saya sayang padamu!’ meskipun tidak diucapkan sepatah katapun.”

“Tuhan,” kata malaikat itu lagi, “istirahatlah!”

“Tidak bisa! Saya sudah hampir selesai. Ia harus bisa menyembuhkan diri sendniri kalau ia sakit. Ia harus bisa memberi makan enam orang dengan setengah ons daging. Ia juga harus menyuruh anak umur 9 tahub mandi pada saat anak itu tidak ingin mandi.”

Akhirnya, malaikat membalik-balikkan contoh Ibu dengan perlahan. “Terlalu lunak!” katanya memberi komentar.

“Tetapi kuat!” kata Tuhan bersemangat, “tak akan kau bayangkan betapa banyaknya yang bisa ia tanggung, pikul dan derita!”

“Apakah ia dapat berpikir?” tanya malaikat lagi.

“Ia bukan saja dapat berpikir, tapi ia juga dapat memberi gagasan, ide dan berkompromi.”kata Sang Pencipta.

Akhirnya, malaikat menyentuh sesuatu di pipi. “Ah, ada kebocoran di sini!”.

“Itu bukan kebocoran,” kata Tuhan, “itu adalah tempat air mata.”

“untuk apa air mata?” tanya malaikat sekali lagi.

“Air mata adalah cara untuk Ibu mengekspresikan kesenangannya, kesedihannya, kekecewaannya, kesakitannya, kesepiannya, kesulitannya dan kebanggaannya.”

“Tuhan memang ahlinya…” kata malaikat, pelan.

*Dari buku Malaikat Kecilku. J


Kamis, 19 September 2013

Labirin Rindu.. :D

Diposting oleh Unknown di 06.06 0 komentar

Saat gamang mendekap, rasanya tak begitu yakin mampu bertanya, kenapa setiap musim yang terlalui tak pernah meninggalkan namanya…Seperti teduh angin sore sesekali luruhkan helai daun yang berserak dan lembab oleh hujan…
………………………
Ada cerita kembali terdengar seperti suara hujan jatuh di dedaunan, tanah dan atap rumah…serupa irama detik jam atau suara helaan nafas….Sunyi dan selarik puisi tentangmu menyekapku dalam labirin rindu yang panjang… Sekejap menjadi lengkap ketika aku berpapasan dengan rasamu.. Ah… cinta datang tanpa memberi kita waktu yang panjang untuk membicarakannya, katamu menggerimis serupa kecupan….
……………………….
Ku urai cerita ini sekedar mengenangmu dalam sebuah kerinduan yang paling hening, berharap hatimu menyampaikan sesuatu dengan sederhana… kelak saat malam mengendap senyap, aku dan kamu temukan ruang yang cukup mesra untuk menafsirkan sebentuk cinta lewat puisi dan juga doa…

Selasa, 17 September 2013

Aku Dan Alam..

Diposting oleh Unknown di 21.26 0 komentar


Setiap kali dalam perjalanan kemana-mana, hal yang paling menyenangkan untuk dilihat adalah pemandangan  dipesisir pantai, pecahan ombak dan sinar matahari yang menyinari laut dengan kemilaunya. Yang membuatku takjub pada mereka mungkin hanya lewat di kehidupanku hanya beberapa saat, yang jadi 
pertanyaan lalu buat apa mereka ada untukku untuk memandang hala-hal yang indah dalam isi perjalanan ini? 

Dan mereka pun tak pernah menyadari aku berada dia antara mereka untuk memandangnya, untuk apa aku diciptakan untuk mereka yang hanya menikmati saja? Sungguh tak pernah akan sampai jika akal yang berbicara dengan hipotesis dihasilkan menggunakan ilmu dan otak yang penuh dengan batasan ini. Yang aku tahu bahwa tidak ada yang diciptakan untuk suatu kesia-siaan semuanya pasti ada manfaatnya. 

Tapi setiap manusia menjadi aktor utama untuk ceritanya sendiri, ya sudah pasti. Tetapi dibalik itu juga publikasi juga dibutuhkan untuk sharing bersama. Sementara dalam mengaktorkan diri sendiri sudah dipastikan semua orang-orang yang berada di sekitar-nya hanya figuran saja dalam sebuah naskah ataupun sebuah bidikan lensa foto. Sedangkan akhir sebuah cerita ditentukan oleh individu masing-masing. Mungkin itu alasan mengapa manusia harus menghargai dunia yang penuh serba serbi flora, fauna dan imajinasi dalam sebuah karya, ataupun sebuah perbuatan yang pastinya dunia sebagai objek untuk mengupas segala yang di alam bumi ini. Saya tidak berhipotesis ria, dan saya tidak memainkan kata-kata dalam bentuk tulisan dan saya tidak bisa untuk itu, tetapi hanya sedikit menulis untuk diriku pribadi dan saya berterima kasih kalau seandai ada yang membaca tulisan amburadul ini.

Save The World

Aku Menulis. Tak Perlu Alasan!

Diposting oleh Unknown di 21.19 0 komentar
“Untuk apa kau menulis?” katanya.

Selanjutnya hanyalah kata-kata;

“Menulis hanya membuang-buang waktumu. Tak berguna!”

“Bukan penulis namanya jika tak pernah menerbitkan buku!”

“Apa bangganya menjadi penulis?”

“Penulis hanyalah cita-cita usang yang tak pantas disandingkan dengan pekerjaan lainnya. Kau tahu? Masih banyak pekerjaan lain di dunia ini. Masih banyak yang harus kau pikirkan selain tulisan-tulisan bodohmu itu! Buka matamu! Banyak pekerjaan lain menantimu. Apa pentingnya menulis? Cukup kau berkata-kata dalam hati dan pikiranmu saja. Tak perlu orang lain tahu. Cukup kau saja. Kau mengerti?! Tak usah berlebihan. Bergaya pintar tapi memuakkan. Kau tak sama dengan apa yang kau tulis!”

Aku diam dalam hening. Tapi aku lalu membunuhnya. Membunuhnya dengan tulisanku, tentunya. Tanpa darah, tanpa air mata. Tanpa ketakutan, tanpa rintihan. Aku hanya muak dengan caci makinya. Itu saja. Jadi cukuplah aku sumpal mulutnya dengan kertas dan pena.

Selasa, 03 September 2013

Bahagia.. :)

Diposting oleh Unknown di 05.43 0 komentar
Telah kubilang berulangkali, mendengarkan suara hatiadalah hal ternyaman untuk kulakukan akhir-akhir ini. Mengajak hati berdialogserasa kita sukses menjadi perempuan paling bijak. Tak ada nada-nada egoismenimpali, semua murni dan alami dalam diri. Terkadang aku justru menyayangkan,kenapa tak dari dulu kesadaran ini kumiliki. Hingga mungkin aku tak tau apa itusakit hati..

Tapi tunggu sayang, aku ingin bernafas satu kalilagi. Mengingatkan otot-otot dan bagian tubuhku yang lain bahwa aku telahbenar-benar berdiri di siang bolong. Aku meyakinkan ini bukan mimpi. Inikeputusan yang kupilih sendiri. Tak ada alasan menyesali. Lebih baik menikmati.Tak usah neko-neko. Nikmati. Selebihnya menyadari bahwa harapan butuhdiseimbangkan dengan Doa. Aku percaya.

Kali ini mungkin aku harus meneriakkan pada bentuktubuh di depan datar cermin ini. Merasakan sakit adalah pilihan salah satunya. Taklagi mendapatimu yang juga berdiri untuk kulihat dalam cermin ini. Tak lagimenuakan lagu-lagu sampai pagi berembun. Tak lagi terbahak dengan kita yangterkatung menahan kantuk. Semuanya tidak lagi, eh sori, jarang barangkali.

Kau tau sikap seorang sahabat yang baru kenalan? Takjauh beda dengan kita sekarang, malu-malu. Kaku. Demi kerelaan orang tua dancita kau bilang. Aku manut saja. Mengalir. Tapi sudahlah, kurasa tak mengapa. Asalkita tetap saling percaya. Menangguhkan Doa sampai waktu yang tidak ditentukan.Aku dalah perempuan baik dalam penungguan. Sepertinya. Toh saat merindumu, akubisa dengan berani mengajak alam di sekitarku untuk menemaniku.

Kau tenang sayang, aku tak akan lagi menghayaldengan cara mereka kebanyakan. Kita punya cara sendiri untuk bahagia. Dan untukyang kesekian, aku mencintaimu. Itu saja.. :)



#Al_

Badai;

Diposting oleh Unknown di 05.04 0 komentar

Terkadang, kehidupan ini melintasi badai.
Bagi beberapa orang, badai itu adalah penyakit yang datang dan diketahui, tanpa diingini.
Bagi beberapa orang yang lain, badai itu adalah kehilangan pekerjaan, diantara tumpukan tagihan dan hanya ada satu penghasilan.

Badai yang lain, bagi orang yang berbeda, keluarga yang terkoyak, tanpa tanda-tanda apapun.
Bagi anak-anak, badai adalah mendengar orang tua akan berpisah, dan mereka harus memilih daddy or mommy. Bagi remaja, badai mungkin saat putus cinta.
Badai adalah badai….


Kehidupan harus tetap dijalani. Beberapa kali dalam lintasan peristiwa, kita akan menghadapi badai-badai serupa. Sekali lagi, kecuali kita mau “quit” menyerah, maka, kita harus mampu terbang ditengah badai.

Menulis tentang ini, mengingatkan saya dengan beberapa hal yang pernah saya dengar, bahwa burung rajawali, adalah burung yang terbang lebih tinggi pada saat badai, dan luarbiasanya adalah kecepatannya bertambah, justru pada saat badai, walaupun ia tidak mengepakkan sayapnya.

Saya berpikir, dalam keadaan seperti ini, mungkinkah kita dapat melakukan sesuatu yang menghargai  perbedaan. Mungkin hanya bagi sedikit orang,… tetapi tetap lakukan saja.

Sekurangnya mari memberi arti diri kita dengan perbedaan itu..

Bangunkan Aku Ombak.. :)

Diposting oleh Unknown di 04.48 0 komentar
Suara jangkrik masih nyaring terdengar, sayup gulita malam mencekik pergelangan kaki menahan langkah ku. Jam dinding menunjukan pukul 4 kurang saat aku keluar dari rumah tanpa mengabari ayah ibu. Perlu  sekitar 40 langkah untuk sampai ke tujuan selanjutnya. Rumah Al, begitu kumemanggilnya. Ia adalah sahabat bermain semenjak sembilan bulan yang lalu , lebih tua 1 tahun membuat-nya menjadi Abang untukku..

Aku ragu apakah Al sudah bangun atau belum, dari jauh pintu rumahnya masih tertutup. Belum lagi aku harus melewati sekolah tua yang katanya angker. Seolah langkah terbawa angin untuk terus lanjut kesana, membangunkan atau menjemput janji kemaren sore bersamanya. Main Kepantai Jam 4 Pagi.

Jarak yang bisa di bilang tak jauh dari pantai, membuat ombak terdengar jelas dan membangunkan ku subuh ini. Teringat janji kemaren yang mengajaknya ‘Olahraga’ jam 4 ke pantai. Maklum kami anak desa yang gak ada taman bermain disini.

Benar saja, Al dan Keluarganya belum bangun. Aku tak berani mengetok pintu atau mengucap salam. Ku duduk di depan pintu rumahnya yang tak berteras, melengkungkan lutut dan menyandarkan kepala di atasnya. Hingga ku dengar suara pintu terbuka di belakangku

Pelan ku bangunkan si Abangku, dan akhirnya terbangun meski dengan sedikit geliat malas. Tapi semangatku tiap minggu subuh untuk pergi kepantai menghapus kemalasannya.

Berdua dengannya , kami susuri jalan gelap menuju pantai kebanggaan. Bagaimana tidak bangga, ini adalah satu-satunya tempat paling menarik di desa kami. Gelap, Masih gelapp sekali. Beberapa rumah yang kami lewati sudah mengawali aktifitas seperti hari biasanya. Mencuci penggorengan dan panci yang di di bawahnya hitam di penuhi arang.

Ah… segar aroma pantai, desir anginnya memainkan ujung jilbab panjangku. Ombak Besar gagal menakuti kami yang larut akan indahnya alam. Sandal kami titipkan di pinggir pantai yang tak bertuan. Lanjut kami telusuri butiran pasir demi pasir, hingga matahari datang menemani kami.
——————————
Al, kapan kita bisa seperti itu lagi.Menikmati pantai sesubuh itu. Menjadikan pantai seperti hanya milik kita. Ombak,Tolong Panggil dan bangunkan kami lagi :)



*bisa saja hanya sekedar khayalan-

 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang