Selasa, 10 Desember 2013

Kita Dan Sandal :)


Pertama kepada Tuhan, maafkan!.
Aku lancang melupakan sebuah cara bersyukur.
Kedua, masih kepada Tuhan, terimakasih!
Untuk sebuah kesadaran yang kau kirim melalui sepasang Sandal butut yang usang.
           
            Entah siapa yang menyuruhku menunduk, memandangi gerak kedua kaki yang sepertinya keluar rumah menuju kampus. Kurasa kedua kaki itu sedang menjalankan tugas mulianya sebagai asisten otak dan hati yang saat ini sedang kebingungan mencari jalan keluar.
           Aku terus melihat perpaduan gerak keduanya. Berkejaran. Indah. Tapi tunggu, sepertinya aku lebih tertarik dengan alas kakiku. Ya, sandalku tepatnya.
            Ia adalah sepasang yang terpisah. Kulihat sandal kananku menginjak kerikil lebih banyak di depan warung kopi milik seorang kakek tua yang kudengar bercerai dengan istrinya dua hari lalu. Lalu sandal kiriku menginjak kawah-kawah kecil bekas tetesan air dari genteng rumah tetangga sebelah. Si kanan menginjak plastik bekas bungkus krupuk, si kiri menginjak sedotan warna biru keunguan. Yang kanan tersandung batu bekas reruntuhan gapura di ujung gang ini, yang kiri kecipratan air yang berasal dari tebak mainan bocah kecil yang biasa kupanggil Mioo. Lalu pasir. Batu. Bundelan kertas. Plastik bekas. Puntung rokok. Vaping miring. Tanah. Batu lagi. Karet plasti. Lilin. Dan terus bergantian, tak ada yang sama. Samapun itu dalam waktu yang berbeda.
            Akupun tak banyak menyangkal saat banyak yang bilang mereka sepasang, satu bentuk dan satu warna. Tapi tugas dan bebannyalah yang tak akan pernah sama. Tak ada waktu buat si Kanan mengelus pundak si Kiri saat ia kelelahan. Pun sebaliknya. Tak ada yang saling menghabiskan waktu untuk membersamai satu sama lain. Tak ada yang saling menemani.
            Meski sekilas, keduanya tampak kompak. Tapi sekali lagi kuingatkan, beban dan tugasnya tak ada yang sama, sekecil apapun.
            Sampai di sini perlahan aku mengerti. Dan berusaha mengaitkan ingatan tentangmu yang mendesak bermunculan. Sepasang yang tak sama. Itu wajar. Bayangkan bila sandal menuntut gerak yang sama, ah tidak. Tentu menyerupai gerak menjemukan kurasa. Tentupun tak enak dipandang mata.
            Baiklah Al, sekarang aku berusaha tak kecewa. Tak lagi menuntutmu apa-apa. Intinya aku bebaskan semua. Dan lebih menyederhanakan perasaan sinting yang membuat Romeo tak takut mati dan jutaan orang bunuh diri. Perasaan yang membuat seseorang rela tak tidur hanya untuk mengingat peristiwa apa saja seharian tadi yang dilalui bersama. Ah, menggila. Dan sekarang aku lebih ingin kita seperti sandal saja. Sepasang yang tak sama. Ya, sepasang yang tak sama. Itu kita. :)


0 komentar:

Posting Komentar

Selasa, 10 Desember 2013

Kita Dan Sandal :)

Diposting oleh Unknown di 01.13

Pertama kepada Tuhan, maafkan!.
Aku lancang melupakan sebuah cara bersyukur.
Kedua, masih kepada Tuhan, terimakasih!
Untuk sebuah kesadaran yang kau kirim melalui sepasang Sandal butut yang usang.
           
            Entah siapa yang menyuruhku menunduk, memandangi gerak kedua kaki yang sepertinya keluar rumah menuju kampus. Kurasa kedua kaki itu sedang menjalankan tugas mulianya sebagai asisten otak dan hati yang saat ini sedang kebingungan mencari jalan keluar.
           Aku terus melihat perpaduan gerak keduanya. Berkejaran. Indah. Tapi tunggu, sepertinya aku lebih tertarik dengan alas kakiku. Ya, sandalku tepatnya.
            Ia adalah sepasang yang terpisah. Kulihat sandal kananku menginjak kerikil lebih banyak di depan warung kopi milik seorang kakek tua yang kudengar bercerai dengan istrinya dua hari lalu. Lalu sandal kiriku menginjak kawah-kawah kecil bekas tetesan air dari genteng rumah tetangga sebelah. Si kanan menginjak plastik bekas bungkus krupuk, si kiri menginjak sedotan warna biru keunguan. Yang kanan tersandung batu bekas reruntuhan gapura di ujung gang ini, yang kiri kecipratan air yang berasal dari tebak mainan bocah kecil yang biasa kupanggil Mioo. Lalu pasir. Batu. Bundelan kertas. Plastik bekas. Puntung rokok. Vaping miring. Tanah. Batu lagi. Karet plasti. Lilin. Dan terus bergantian, tak ada yang sama. Samapun itu dalam waktu yang berbeda.
            Akupun tak banyak menyangkal saat banyak yang bilang mereka sepasang, satu bentuk dan satu warna. Tapi tugas dan bebannyalah yang tak akan pernah sama. Tak ada waktu buat si Kanan mengelus pundak si Kiri saat ia kelelahan. Pun sebaliknya. Tak ada yang saling menghabiskan waktu untuk membersamai satu sama lain. Tak ada yang saling menemani.
            Meski sekilas, keduanya tampak kompak. Tapi sekali lagi kuingatkan, beban dan tugasnya tak ada yang sama, sekecil apapun.
            Sampai di sini perlahan aku mengerti. Dan berusaha mengaitkan ingatan tentangmu yang mendesak bermunculan. Sepasang yang tak sama. Itu wajar. Bayangkan bila sandal menuntut gerak yang sama, ah tidak. Tentu menyerupai gerak menjemukan kurasa. Tentupun tak enak dipandang mata.
            Baiklah Al, sekarang aku berusaha tak kecewa. Tak lagi menuntutmu apa-apa. Intinya aku bebaskan semua. Dan lebih menyederhanakan perasaan sinting yang membuat Romeo tak takut mati dan jutaan orang bunuh diri. Perasaan yang membuat seseorang rela tak tidur hanya untuk mengingat peristiwa apa saja seharian tadi yang dilalui bersama. Ah, menggila. Dan sekarang aku lebih ingin kita seperti sandal saja. Sepasang yang tak sama. Ya, sepasang yang tak sama. Itu kita. :)


0 komentar on "Kita Dan Sandal :)"

Posting Komentar


 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang