Ini adalah bulan istimewa bagi Surabaya dan segenap penduduknya.
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung
Senin, 04 Mei 2015
Menggodok Mie #1
“Siapa sangka yang akan hadir di
masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”
@Untuk kita yang the first
sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
Kamu
asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku-
dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku
memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran
mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan
yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas
kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku. Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama
Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk
persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah
kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah
menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan
memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku
menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang
tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.
Kita bertemu
tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu
untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita
bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi
kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal
penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu
jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku
yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik
utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak
kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak
sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu
saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih
kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di
depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja.
Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang
baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.
Tigapuluh
menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai
wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa
saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah
kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian
lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat
basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku
untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku
sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang
jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala.
Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega
melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara
pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju
di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.
“Nggak apa
kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.
Kamu mengangguk.
Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam
menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan
mungkin sampai sekarang.
Entah
bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali
ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat
itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain.
Akutak ingat jelas pastinya.
Aku pun
kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.
***
Tiga tahun berlalu.
Kawat: Apa kabar, Le?
Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis
jelas di akunku?
La’la’: Baik.
Aku menjawab simpel. Buru-buru
menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget
bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan
proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke
kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang
berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang
memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa
perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan
sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan
banyak pertanyaan lainnya.
Kita lalu
melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail
percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu
menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.
Sebulan.
Dua bulan
Tiga bulan.
Kamu sedang dalam masalah besar.
Bersambung.
Label:
Feel
Kamis, 19 Maret 2015
Bukan Surat Cinta
Percaya atau tidak, aku tercenung tiga puluh menit sebelum memulai tulisan ini. Bingung harus memulai dengan sapa ceria, datar-datar saja atau bahkan menampakkan saja bahwa aku belum sepenuhnya berhenti menjadi perempuan insomnia setiap malamnya. Semua kata berlomba menjadi yang pertama dalam tulisan. Semua peristiwa meronta menjadi yang paling awal diceritakan. Seandai otakku berbahan beling, sudah kupecahkan jauh sebelum aku berkeinginan menuliskan keadaan paling mematikan ini: mematikan karena harus ada banyak hal yang sengaja aku hadirkan dalam ingatan. Mulai dari rasa kenyang yang kuperoleh tanpa satupun suapan, sampai satu jam setelah melahap beberapa menu masakan, perutku masih merasa kelaparan.
Otakku masih membayangkan banyak hal yang berlalu-lalang sejak beberapa bulan terakhir. Tentang tips mengelus dada yang lebih kreatif, semangat bergabung bersama banyak orang yang kerjanya hanya baca tulis, sampai pada penyusunan resolusi yang ujung-ujungnya mendapat umpatan sendiri dari otak dan hati bahwa rancanganku tak lebih dari sekedar resolusi basi.
Awalnya aku ingin ngakak saja, menyadari betapa aku merasa satu-satunya perempuan termalang di dunia-setidaknya itu lebih menguasai pikiranku beberapa waktu lalu- yang sudah tidak percaya bahwa yang berbuat baik pada sesama dan mengasihi hewan lebih dari manusia lainnya, akan dihampiri seorang pangeran berkuda putih yang rupawan dan sangat keren nama panggilannya.
Aku sudah mensugestikan diri sendiri bahwa di luar sana semua mata lelaki berbentuk sama: KOTAK. Padahal temanku bilang, Spongebob yang tubuhnya kotak saja masih memiliki mata bulat sempurna. Tapi entah, intinya aku merasa mata mereka tidak hanya akan melukai sepasang mata lain yang memandangnya sekali, melainkan berkali-kali. Seperti sebuah kotak dengan empat sudutnya, satu sudut tobat dengan perlakuannya, sudut lain berebut menagih jatahnya. Atau pikiran picik ini datang setelah aku divonis trauma stadium empat. Entah.
Tiga puluh menit berlalu dengan kecamuk pikiran yang lebih buruk dari kata ‘amburadul’. Berputar mengelilingi satu titik paling membahayakan untuk dipandang, dikenang apalagi diharapkan. Meski itu-itu saja yang sampai saat ini masih kulakukan. Semuanya masih berotasi sempurna.
Akhirnya satu keputusan berani kulontarkan: Tak ada tulisan yang lebih bernyawa kecuali jika itu tentang kekonyolanku yang kuanggap terhormat. Dan tak ada tulisan konyol kecuali jika pembacanya kukhususkan untukmu saja. Ya. Tulisan ini untukmu: yang seharusnya naik menara Eiffel, atau minimal ke Monas untuk rasa syukurmu karena kehadiranku yang lebih mirip robot perempuan dengan perasaan lebih kuat dari manusia lainnya lalu menyukaimu sedemikian hebatnya. Atau kamu malah merasa harus meratap di pekuburan sempit pinggiran kota karena aku kau anggap sosok manusia yang bukan main ngototnya memilihmu dalam setiap rangkaian doanya. Dan kamu menyesal pernah berjabat tangan dengannya. Aku tak tau. Aku takut mempertanyakan tanggapanmu.
Hei, aku berbasa-basi terlalu panjang. Bukan karena sok merhasiakan, tapi memang sambil lalu memikirkan jenis tulisan apalagi yang harus kusampaikan. Model marah-marah sudah terlalu biasa untuk dipublikasikan, sok melankolis juga sudah berpuluh-puluh halaman yang akan kamu temukan. Yang pasti tulisan ini akan lebih memahamkanmu bagaimana aku menyihir diri menjadi pemeran tangguh seperti dalam film-film heroik beberapa bulan terakhir ini. Melawan banyak monster yang lebih membahayakan dari Griever, lebih mematikan dari tatapan Gorgon dan lebih menyeramkan dari Banshee. Monster-monster itu muncul dari keragaman pikiranku sendiri. Bagaimana monster cemburu tak tepat waktu, rasa sedih yang berlarut-larut dan ketidak-mampuanku berdamai dengan kenyataan jelas akan sangat ganas menggerogoti hati tanpa kenal ampun. Aku sudah lama berjuang melawan itu semua. Hasilnya? Dengan sangat percaya diri-tapi tidak sombong-aku berani jamin bahwa aku sudah memenangkannya.
***
Bicara tentang kamu memang unik. Seunik pernak-pernik peninggalan para keluarga kerajaan yang hanya bisa kita lihat di balik kaca sedemikian tebalnya, tanpa sedetikpun para penjaga museum mengizinkan kita memegangnya. Kamu hanya bisa kuinjak kakinya lewat lagu yang pernah kamu nyanyikan, hanya bisa kuacak rambutnya melalui foto pajangan di dinding kamar dan hanya bisa kupeluk lewat ingatan yang mengoyak kesabaran.
Aku tidak perlu khawatir ditangkap pihak kepolisian saat harus mengusut tindakanmu yang kuanggap sangat kriminal. Membunuh dengan tragis rasa sabar dan keceriaanku untuk berbulan-bulan. Tapi sebagai keluarga korban, sama sekali aku tak menyimpan dendam maupun membencimu dengan sangat tajam. Aku tidak bisa lakukan itu. Kamu masih saja rutin kurapal dalam doa dan kupanggil-panggil tiap pagi tanpa peduli kamu sesibuk apa. Aku dibilang tidak paham aturan mungkin sangat benar, bahkan jagonya.
Lambat laun aku merasa harus merenovasi sukaku dari yang lumrah dialami teman-teman sebayaku menjadi yang serba tangguh tapi mengacak-acak hati seperti dalam beberapa kisah yang ditulis Dee dalam bukunya, Rectoverso. Aku harus mengaplikasikan lirik lagu dari penyanyi satu-satunya yang paling aku gilai suaranya di Indonesia. Kamu taulah lagunya apa dan milik siapa. Aku harus. Aku harus. Banyak hal yang kutuntutkan sendiri untuk diri sendiri. Cukup caranya yang wajib lebih kuperbaiki. Sedangkan doa? Aku tak berani mengotak-atiknya. Kamu masih tetap rapi dalam susunan fatihah setelah para guru dan kedua orang tua. Tidak berlebihan, kan? Aku tidak menyangkal jika banyak yang bilang aku goblok memperjuangkan ini sendirian. Tapi entah kenapa, keyakinanku berdiri tegak dengan sangat angkuhnya: bahwa kamu tetap lelaki pertama yang akan kuinjak kaki dan kuacak rambutnya setelah saudaraku (ssst, yang memiliki inisial cahaya boleh ngerasa tercubit lengannya :D) menyanyikan All of Me dan Thinking Out Loud dalam upacara pengukuhan aku-kamu menjadi kita. *haha. Nggak ada yang ngelarang mimpi kita sebegini gilanya, kan?*
Aku selalu kehabisan cara menceritakanmu pada semesta. Sebab kupercaya kamu punya banyak ilmu mistis yang mampu membuatku ngakak dan meratap di waktu yang sama. Yang selalu punya alasan kenapa harus kusebut namamu menjelang tidur setiap malamnya. Yang selalu ada dalam rentetan daftar masa depan bahagia. Hahaha. Aku gila? Boleh saja. Tapi aku punya alat lebih besar dari earphone yang bisa menutup rapat telinga. Mau kamu tertawa ya aku ikut tertawa. Kamu terpesona ya aku tujuh kali melompat bahagia. :D
Sebelum kuakhiri surat yang hampir saja kukirim ke rumah Juliet di sana, anggap saja tulisan ini sebagai jawaban dari tanya yang kamu lontarkan beberapa jam sebelumnya. Jika kamu peka dan mau berbaik hati untuk kesekian kalinya, aku mau jawaban dengan pertanyaan yang sama. ‘Bagaimana bentuk kakiku dalam kacamat 3Dmu?’ :D
SEKIAN
*Kita bertemu di alphabet selanjutnya. Salam dua kaki!. Tendang!. Kita bahagia!
**Ditulis dalam keadaan yang hanya bisa dideskripsikan para peri kepada Cinderella dan dalam waktu yang hanya bisa dijelaskan oleh Doraemon kepada Nobita.
Label:
Feel
Langganan:
Postingan (Atom)
Senin, 04 Mei 2015
Ini adalah bulan istimewa bagi Surabaya dan segenap penduduknya.
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung
Menggodok Mie #1
“Siapa sangka yang akan hadir di
masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”
@Untuk kita yang the first
sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
Kamu
asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku-
dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku
memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran
mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan
yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas
kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku. Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama
Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk
persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah
kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah
menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan
memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku
menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang
tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.
Kita bertemu
tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu
untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita
bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi
kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal
penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu
jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku
yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik
utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak
kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak
sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu
saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih
kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di
depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja.
Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang
baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.
Tigapuluh
menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai
wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa
saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah
kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian
lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat
basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku
untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku
sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang
jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala.
Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega
melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara
pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju
di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.
“Nggak apa
kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.
Kamu mengangguk.
Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam
menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan
mungkin sampai sekarang.
Entah
bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali
ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat
itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain.
Akutak ingat jelas pastinya.
Aku pun
kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.
***
Tiga tahun berlalu.
Kawat: Apa kabar, Le?
Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis
jelas di akunku?
La’la’: Baik.
Aku menjawab simpel. Buru-buru
menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget
bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan
proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke
kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang
berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang
memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa
perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan
sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan
banyak pertanyaan lainnya.
Kita lalu
melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail
percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu
menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.
Sebulan.
Dua bulan
Tiga bulan.
Kamu sedang dalam masalah besar.
Bersambung.
Kamis, 19 Maret 2015
Bukan Surat Cinta
Percaya atau tidak, aku tercenung tiga puluh menit sebelum memulai tulisan ini. Bingung harus memulai dengan sapa ceria, datar-datar saja atau bahkan menampakkan saja bahwa aku belum sepenuhnya berhenti menjadi perempuan insomnia setiap malamnya. Semua kata berlomba menjadi yang pertama dalam tulisan. Semua peristiwa meronta menjadi yang paling awal diceritakan. Seandai otakku berbahan beling, sudah kupecahkan jauh sebelum aku berkeinginan menuliskan keadaan paling mematikan ini: mematikan karena harus ada banyak hal yang sengaja aku hadirkan dalam ingatan. Mulai dari rasa kenyang yang kuperoleh tanpa satupun suapan, sampai satu jam setelah melahap beberapa menu masakan, perutku masih merasa kelaparan.
Otakku masih membayangkan banyak hal yang berlalu-lalang sejak beberapa bulan terakhir. Tentang tips mengelus dada yang lebih kreatif, semangat bergabung bersama banyak orang yang kerjanya hanya baca tulis, sampai pada penyusunan resolusi yang ujung-ujungnya mendapat umpatan sendiri dari otak dan hati bahwa rancanganku tak lebih dari sekedar resolusi basi.
Awalnya aku ingin ngakak saja, menyadari betapa aku merasa satu-satunya perempuan termalang di dunia-setidaknya itu lebih menguasai pikiranku beberapa waktu lalu- yang sudah tidak percaya bahwa yang berbuat baik pada sesama dan mengasihi hewan lebih dari manusia lainnya, akan dihampiri seorang pangeran berkuda putih yang rupawan dan sangat keren nama panggilannya.
Aku sudah mensugestikan diri sendiri bahwa di luar sana semua mata lelaki berbentuk sama: KOTAK. Padahal temanku bilang, Spongebob yang tubuhnya kotak saja masih memiliki mata bulat sempurna. Tapi entah, intinya aku merasa mata mereka tidak hanya akan melukai sepasang mata lain yang memandangnya sekali, melainkan berkali-kali. Seperti sebuah kotak dengan empat sudutnya, satu sudut tobat dengan perlakuannya, sudut lain berebut menagih jatahnya. Atau pikiran picik ini datang setelah aku divonis trauma stadium empat. Entah.
Tiga puluh menit berlalu dengan kecamuk pikiran yang lebih buruk dari kata ‘amburadul’. Berputar mengelilingi satu titik paling membahayakan untuk dipandang, dikenang apalagi diharapkan. Meski itu-itu saja yang sampai saat ini masih kulakukan. Semuanya masih berotasi sempurna.
Akhirnya satu keputusan berani kulontarkan: Tak ada tulisan yang lebih bernyawa kecuali jika itu tentang kekonyolanku yang kuanggap terhormat. Dan tak ada tulisan konyol kecuali jika pembacanya kukhususkan untukmu saja. Ya. Tulisan ini untukmu: yang seharusnya naik menara Eiffel, atau minimal ke Monas untuk rasa syukurmu karena kehadiranku yang lebih mirip robot perempuan dengan perasaan lebih kuat dari manusia lainnya lalu menyukaimu sedemikian hebatnya. Atau kamu malah merasa harus meratap di pekuburan sempit pinggiran kota karena aku kau anggap sosok manusia yang bukan main ngototnya memilihmu dalam setiap rangkaian doanya. Dan kamu menyesal pernah berjabat tangan dengannya. Aku tak tau. Aku takut mempertanyakan tanggapanmu.
Hei, aku berbasa-basi terlalu panjang. Bukan karena sok merhasiakan, tapi memang sambil lalu memikirkan jenis tulisan apalagi yang harus kusampaikan. Model marah-marah sudah terlalu biasa untuk dipublikasikan, sok melankolis juga sudah berpuluh-puluh halaman yang akan kamu temukan. Yang pasti tulisan ini akan lebih memahamkanmu bagaimana aku menyihir diri menjadi pemeran tangguh seperti dalam film-film heroik beberapa bulan terakhir ini. Melawan banyak monster yang lebih membahayakan dari Griever, lebih mematikan dari tatapan Gorgon dan lebih menyeramkan dari Banshee. Monster-monster itu muncul dari keragaman pikiranku sendiri. Bagaimana monster cemburu tak tepat waktu, rasa sedih yang berlarut-larut dan ketidak-mampuanku berdamai dengan kenyataan jelas akan sangat ganas menggerogoti hati tanpa kenal ampun. Aku sudah lama berjuang melawan itu semua. Hasilnya? Dengan sangat percaya diri-tapi tidak sombong-aku berani jamin bahwa aku sudah memenangkannya.
***
Bicara tentang kamu memang unik. Seunik pernak-pernik peninggalan para keluarga kerajaan yang hanya bisa kita lihat di balik kaca sedemikian tebalnya, tanpa sedetikpun para penjaga museum mengizinkan kita memegangnya. Kamu hanya bisa kuinjak kakinya lewat lagu yang pernah kamu nyanyikan, hanya bisa kuacak rambutnya melalui foto pajangan di dinding kamar dan hanya bisa kupeluk lewat ingatan yang mengoyak kesabaran.
Aku tidak perlu khawatir ditangkap pihak kepolisian saat harus mengusut tindakanmu yang kuanggap sangat kriminal. Membunuh dengan tragis rasa sabar dan keceriaanku untuk berbulan-bulan. Tapi sebagai keluarga korban, sama sekali aku tak menyimpan dendam maupun membencimu dengan sangat tajam. Aku tidak bisa lakukan itu. Kamu masih saja rutin kurapal dalam doa dan kupanggil-panggil tiap pagi tanpa peduli kamu sesibuk apa. Aku dibilang tidak paham aturan mungkin sangat benar, bahkan jagonya.
Lambat laun aku merasa harus merenovasi sukaku dari yang lumrah dialami teman-teman sebayaku menjadi yang serba tangguh tapi mengacak-acak hati seperti dalam beberapa kisah yang ditulis Dee dalam bukunya, Rectoverso. Aku harus mengaplikasikan lirik lagu dari penyanyi satu-satunya yang paling aku gilai suaranya di Indonesia. Kamu taulah lagunya apa dan milik siapa. Aku harus. Aku harus. Banyak hal yang kutuntutkan sendiri untuk diri sendiri. Cukup caranya yang wajib lebih kuperbaiki. Sedangkan doa? Aku tak berani mengotak-atiknya. Kamu masih tetap rapi dalam susunan fatihah setelah para guru dan kedua orang tua. Tidak berlebihan, kan? Aku tidak menyangkal jika banyak yang bilang aku goblok memperjuangkan ini sendirian. Tapi entah kenapa, keyakinanku berdiri tegak dengan sangat angkuhnya: bahwa kamu tetap lelaki pertama yang akan kuinjak kaki dan kuacak rambutnya setelah saudaraku (ssst, yang memiliki inisial cahaya boleh ngerasa tercubit lengannya :D) menyanyikan All of Me dan Thinking Out Loud dalam upacara pengukuhan aku-kamu menjadi kita. *haha. Nggak ada yang ngelarang mimpi kita sebegini gilanya, kan?*
Aku selalu kehabisan cara menceritakanmu pada semesta. Sebab kupercaya kamu punya banyak ilmu mistis yang mampu membuatku ngakak dan meratap di waktu yang sama. Yang selalu punya alasan kenapa harus kusebut namamu menjelang tidur setiap malamnya. Yang selalu ada dalam rentetan daftar masa depan bahagia. Hahaha. Aku gila? Boleh saja. Tapi aku punya alat lebih besar dari earphone yang bisa menutup rapat telinga. Mau kamu tertawa ya aku ikut tertawa. Kamu terpesona ya aku tujuh kali melompat bahagia. :D
Sebelum kuakhiri surat yang hampir saja kukirim ke rumah Juliet di sana, anggap saja tulisan ini sebagai jawaban dari tanya yang kamu lontarkan beberapa jam sebelumnya. Jika kamu peka dan mau berbaik hati untuk kesekian kalinya, aku mau jawaban dengan pertanyaan yang sama. ‘Bagaimana bentuk kakiku dalam kacamat 3Dmu?’ :D
SEKIAN
*Kita bertemu di alphabet selanjutnya. Salam dua kaki!. Tendang!. Kita bahagia!
**Ditulis dalam keadaan yang hanya bisa dideskripsikan para peri kepada Cinderella dan dalam waktu yang hanya bisa dijelaskan oleh Doraemon kepada Nobita.
Langganan:
Postingan (Atom)