Kamis, 15 Mei 2014

Namanya, HUJAN!


*Just like the clouds my eyes will do the same
If you walk away, every day
it will rain, rain, rain*
***
09 Pebruari 2014
Di luar hujan. Maka jangan salahkan jika aku harus meringkuk kaku di kamar sendirian mendapati hal yang paling aku benci sejak aku dilahirkan. Tentang beberapa alasan, sudah berulangkali aku utarakan. Banyak yang bilang karena aku masih belum pernah melebur dengan ribuan tetesnya yang menenangkan, tapi sungguh bukan itu. Semasa kecil pernah kucoba merapikan payung dalam ransel saat hujan sedang deras-derasnya. Lalu apa? Aku meriang tak tertolong setelahnya. Semakin aku tak suka.
Menurut nenek, Hujan adalah nama seorang gadis penunggu petang, badannya lemah dan ia tak punya teman. Tentang segerombolan air yang seringkali mengguyur, itulah air matanya yang ia keluarkan akibat rasa kesepian dan kesedihan yang mendalam. Maka dinamakanlah peristiwa turunya air itu dengan sebutan ‘Hujan’. Maka aku tak mau di dunia ini masih ada teman yang kesepian.
            Tapi sudahlah, lupakan tentang alasanku membenci hujan, malam ini ada yang ingin kuceritakan. Tentang kombinasi menarik yang membuat hatiku lumayan begidik: Hujan dan Rindu. Dua hal yang sama membuatku kehabisan cara berbahagia. Tapi bukankah cinta dan rindu adalah satu paket yang tak bisa dipisah satu-satu? Siap mengaku cinta berarti siap menanggung rindu.
Yup, aku pernah beberapa kali meyakinkan; aku mencintaimu. Ya! Kamu! Lelaki yang kukenal setahun yang lalu. Bermata sipit, berambut coklat, bermuka tirus. Dengan otot-otot kekar yang membuatku selalu ingin meredam lelah dan amarah ke pangkuanmu.Kita sengaja Tuhan takdirkan bertemu dengan cara yang tak pernah kita tunggu. Berawal dari ulah teman baikku yang ingin mengenalkan, menukarkan kontak kita satu sama lain. Entah maksudnya apa. Tiba-tiba kita saling bertukar cerita, laluaku mengagumimu dan secepat itu kamu kuanggap kekasihku. Tanpa kencan-kencan sakral yang pernah dilakukan semua remaja seusiaku pada malam minggu, kita sama berani merapal doa untuk sebuah masa depan. Terkadang aku merutuk jarak habis-habisan. Bagaimana ia tega menjauhkan sepasang kekasih yang saling membutuhkan. Ah, jarak ini. Panas di kotaku, kau meringkuk dalam selimut di kotamu.
Berulangkali aku pernah cemburu pada bantal dan gulingmu yang setiap hari menemanimu lelap dan melepas penat. Pernah juga sekali dalam perjalanan, aku melihat setiap pengendara motor persis wajahmu.Dan masih banyak hal lain yang labih gila daripada ini. Aku bahkan sering tersenyum dan tertawa sendiri tanpa mau disebut gila.
***
09 Mei 2014
Beberapa bulan terakhir ini serupa gigi berlubang yang kemasukan potongan gorengan: ada yang mengganjal. Waktu-waktu kita serasa dipangkas paksa oleh hantu paling menyebalkan bernama jarak dan kesibukan. Spontan saja ada banyak kecurigaan yang terpaksa harus aku pikirkan lebih dalam. Kita jarang komunikasi sekarang. Bukankah itu yang paling kita butuhkan saat jarak sudah tak mampu kita taklukkan? Kamu kenapa? Sedang baik-baik di sana? Aku selalu percaya benar ada kesibukan yang menuntutmu sekarang, tapi yakinku mustahil kau merapikan ponsel dalam saku siang-malam. Lalu kenapa tak sedikitpun tergerak untuk sekedar menyapa yang itu membuatku serasa melambung di udara?
Oh iya, besok adalah hari kebesaranmu. Hari pertama kamu dilahirkan. Kita ada janji bertemu bukan? Syukurlah, barangkali besok aku berani memarahimu habis-habisan atas kelakuanmu yang dengan sadar menjadikanku objek kedua setelah kesibukan. Baiknya sekarang aku tidur saja. Mempersiapakan untuk sebuah ketenangan esok hari.
***
Pagi itu di kotamu.
Rupanya kau menunggu lebih awal. Ada senyum kecil hatiku yang tak bisa kurahasiakan.
“Hei, apa kabar?”, kamu memulai percakapan.
“Aku baik. Tapi mataku sedikit bengkak, kurang istirahat”, aku memancingmu untuk menyadarkanmu betapa kamu telah benar sengaja menjadikanku malam-malamku insomnia.
“Jangan bilang karenaku”, ekspresimu datar. Aku serasa tertampar.
Aku diam. Lalu kau melanjutkan.
 “Maaf akhir-akhir ini aku akan disibukkan banyak hal. Kamu tak perlu menjadi seperti janda kehilangan suami saat aku tak berkabar. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk sendirian”. Rupanya kamu sudah mulai kurangajar.
“Oh iya, tak apa. Aku baik-baik saja”. Entah kenapa tiba-tiba aku tak bisa menuntutmu apa-apa selain menerima.
“Sepertinya aku harus ke kampus sekarang. Ada rapat yang menunggu, terimakasih kedatangannya”. Ucapmu sambil berbalik arah.
“Hmm, Happy Birthday. Semoga tercapai cita.” Aku terbata-bata, sembari memberikan kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari menjelang hari istimewamu.
“Oh, aku benar-benar lupa. Terimakasih”. Kamu mengambilnya dari tanganku lalu pergi, tak berbalik lagi.
Oh Tuhan, aku ingin menekan tombol Pause kehidupan. Agar kenyataan ini berhenti sebentar, aku ingin mengambil nafas. Kali ini aku lebih dari sekedar terpukul dan tertampar. Inginku hal-hal membahagiakan saja yang harus terjadi hari ini. Tapi..
Tiba-tiba hujan. Entah kenapa aku melupakan kebencianku pada tetesnya. Malah aku sedang butuh banturannya menyembunyikan ribuan air mata yang akan segera menderas. Dan sampai di sini aku sadar, lantaran sebuah  jarak, menyusul ada hal-hal yang mencoba susah payah memisahkan, termasuk rasa bosan.
***
Mataku terus menghujan. Deras. Deras sekali. Inikah yang kau bilang tangisan seorang gadis yang kesepian, Nek?

Selasa, 13 Mei 2014

Jin Bernama Kesibukan



Seperti terbangun dari mimpi buruk. Segalanya tampak menyakitkan untuk kutulis jika harus melalui proses mengingat. Terlalu tiba-tiba tapi terlalu nyata di depan mata. Entah sejak kapan aku mau berpikir ruwet begini. Sekali lagi ini bukan berburuk sangka atau apalah. Ini murni yang aku rasa. Aneh? Wajar saja. Titel perempuankulah yang melawan titel lelakimu. Karena sampai kapanpun, lelaki dan perempuan itu memang beda. Bukan begitu?
Segalanya akan terasa asing bagimu. Menganggapku terlalu berlebihan itu sudah tugasmu barangkali. Dan tak pernah ada dalam kamusmu untuk sedikit membahagiakan dengan cara yang berlebihan. Padahal kita punya cara  tersendiri untuk berbahagia. Aku? Ya begini, sok kuat saat seperti janda kehilangan suami. Jelas kau tak suka itu. “Berlebihan” kau bilang.
Baiklah, tanpa basa-basi kau harus tau, entah dengan cara apa harus sampai padamu: Sekarang kamu berubah. Tak lagi memanjakanku seperti adik perempuanmu, seperti teman yang paling kau sayangi, seperti Ibu yang sangat merindukanmu. Tapi siapa aku menuntut begitu? Haha. Aku memang terlalu kurang ajar kadang.
Jika orang bilang tahun ke dua dalam sebuah pernikahan itu bagaikan petir, aku mulai bisa mengiyakan. Bagaimana tidak? Aku sudah lebih dari sekedar mnengalami. Meski ikatan ini tanpa suatu  upacara sakral bernama pernikahan. Tapi aku cukup tau.
Dari dulu memang aku sudah percaya bahwa kesibukan akan membuat kita cinta kesendirian. Sebaliknya, kesendirian membuat kita sangat mengimpikan kebersamaan.  Sekarang kita benar-benar seperti kenalan asing yang hanya saling menjaga satu sama lain. Seperti belum mengenal. Ya, seperti baru menyebutkan nama dan alamat, belum pernah berbagi lebih dari itu. Atau bahkan menurutku sekarang kita seperti partner organisasi dari dua kampus yang berbeda. Cukup seperti itu. Berbagi cerita kerja dan wacana. Ah, menyebalkan. Aku ingin lebih dari itu, tapi aku malu harus menyampaikan padamu.
Hari-harimu sekarang sungguh sangat disibukkan dengan hal-hal yang aku sendiri tak tau. Sekedar untuk menyapa dan tanya kabar seperti belum ada kesempatan. Padahal dalam pikirku, mustahil dalam jangka waktu 24 jam kau merapikan ponsel dalam saku. Lalu kemana kepedulianmu meski untuk basa-basi yang itu menyenangkanku?
Dan saat dalam kekalutan beginipun, aku harus menyembunyikannya serapi mungin dalam rak kosong di sudut-sudut lemari. Sebab kau tak suka. Inginmu kita jalani dengan sederhana saja. Tapi sederhana versi siapa?
Meski menyimpan sakit ini serasa hal paling mengasyikkan. Sangat rahasia. Kau tak perlu tau. Sedikitpun tak perlu. Aku sudah tau apa yang akan terjadi jika berita ini sampai di telingamu. Dan aku tak mau. Aku cukup menuliskannya. Di sini. Ruang yang tak akan pernah kamu singgahi.
Lalu aku akan dengan rela tetap terlihat baik-baik saja demi menjadi sosok perempuan yang kamu ingini, barangkali. Lagi-lagi.
Lagipula aku ingat dengan jelas bahasa Sudjiwo Tedjo: “Pengorbanan itu berdasarkan perhitungan. Lalu dalam sebuah perasaan, jangan anggap itu Cinta jika masih penuh perhitungan”. So, I’ll love unconditionally kata Katy Pery. J Tanpa Syarat. Aku bahagia dengan cara sakitku ini.
*Al. 06 Mei 2014

Resmi: Hari ini rindu Ibu. (Sebuah Refleksi)




**Barangkali dalam hal ini ingatanku akan bekerja lebih baik. Tak seperti saat disuruh menghafal pelajaran dan matakuliah yang super duper membingungkan. Ingatanku serupa hardisk yang mampu menampung ribuan giga file dari segala peristiwa, yang saat ini entah kenapa bisa terputar begitu saja.
Awalnya aku tak ingin mengingatnya, khawatir kelimpungan menampung gejolak rindu setelahnya. Tapi dasar aku lupa, dalam ilmu Biologi dasar bukannya sudah dijelaskan betapa romantisnya hubungan gen antara seorang Ibu dan anak. Dan hari ini, kau resmi terkana setrum itu. Gerahamku mengeras, badanku menegang, mataku memanas. Aku hanya ingin satu hal: Menghambur di pelukmu. Lalu menceritakan dengan lantang tentang orang-orang yang akhir-akhir ini tugasnya melebihi seorang hantu yang paling menyeramkan. Yang akhir-akhir ini belajar menyaingi rinduku pada penghuni rumah ternyamanku. Tapi tak perlu ada yang perlu dikhawatirkan, hantu itu memang manyeramkan tapi tak sedikitpun membahayakan. Dan rindu itu, memang sama besar, tapi aku akan sadar saat menanyakan kembali pada hati dengan lebih tenang.
Tentang Ibu;
Tak peduli seberapa sering dia marah, saat dalam keadaan ini hanya di pangkuannya aku  ingin berkeluh kesah. Mengalirkan air mata tanpa ada sungkannya. Melampiaskan segala kecewa dan luka bahkan sampai tak jarang mencubitnya. Membisikkan tepat di telinganya bahwa ia aku larang menceritakan apapun di depan ayah, dilarang memarahi, dilarang menasihati. Pada fase pertama dia hanya boleh mendengarkan. Lalu  dengan tanpa beban ia mendengarkan, sesekali menyibak rambutku yang berantakan tak karuan, menggenggam tanganku memberi kekuatan. Dalam posisi tetap diam.
Aku tak pernah meragukannya dalam hal menghargai. Tapi namanya Ibu, mustahil mengakhiri pertemuan tanpa sebuah wejangan.
Terakhir dia akan bicara panjang lebar, yang kualitasnya terkadang melebihi isi buku-buku di pasaran. Tak jemu ia selalu mengingatkan, agar putri kesayangnnya tak sampai masuk jurang. Aku masih ingat, bagaimana Ibu mengajarkan tentang hidup yang tak jarang membuat orang kehilangan akal. ‘Begitulah Hidup, tapi ada banyak cara untuk menghadapi segala situasinya’ selalu katanya.

*Entah kenapa hari ini aku begitu merindukannya. Rindu caranya membangunkan di pagi hari. Rindu caranya memposisikan kepeduliannya yang selalu tepat waktu dalam situasi dan kondisi apapun. Rindu caranya mengajak untuk tak bermalas-malasan membersihkan rumah. Rindu segala halnya.
Bu, kau tetap akan jadi rumah ternyaman untuk aku berpulang. Miss you so. :*
***Sst, jangan berisik, aku malu jika harus ketahuan ayah. :D
12 Mei 2014

‘Hari Aksi se-Dunia’




Ini hari spesial. Sengaja ku kemas dengan seapik mungkin untuk tak sedikitpun manyinggung makhluk-makhluk yang membacanya. Ini hari sudah terencana sejak beberapa minggu yang lalu. Mencari waktu dan kesempatan yang pas untuk menjalankan apa yang sudah nyaris melumut di kepala. Hari ini adalah ‘Hari Aksi se Dunia’. Aksi protesku pada seluruh organ paling jahat dalam dunia hidupku. Dalam aksi ini aku orator tunggal. Tanpa bantuan makhluk bernama manusia lainnya. Aku hanya iseng mengajak sahabat-sahabat lama: Otak, Hati dan Organ tubuh tercinta (Lalu aku bicara atas nama siapa? Ah, entahlah).
Pertama pada kesibukan, aku begitu ingin protes, kenapa melulu hadir dalam waktu yang menurutku kurang tepat. Memasuki zona amanku bersama teman sedekat bahuku tanpa tanya-tanya terlebih dahulu. Tapi anehnya aku diam saja. Menganggukkan kepala tanda setuju dengan bermacam program amburadulnya. Seakan menghipnotisku yang seakan mau baik-baik saja menghamba tepat di depan mukannya. Aku serasa tak punya cara untuk mengabarkannya tentang hal-hal lain yang harus kukerjakan dengan tenang tanpa harus buru-buru. Aku ingin menyelesaikannya satu-satu. Merasakan, manghayati dan menikmati. Tapi dasar si kesibukan tak punya kepala. Dia masih berbuat seperti sedia kala. Tak sadar berapa ribu kepala yang dirugikan.
Lalu pada kesibukan, kembali aku ingin memprotesnya. Atau lebih tepat memarahinya, kenapa dengan tega memangkas waktu-waktu yang pernah kita kenal dengan nama ‘Waktu kita’. Apa mungkin dia cemburu? Lalu atas dasar apa? Dia meyukaimu? Kurasa begitu. Buktinya dia begitu ingin menghabiskan waktu-waktu bersamamu. Memandangmu, melihatmu dan membersamaimu. Lalu di sini aku hanya bisa gigit jari. Membayangkan  kemesraanmu bersamanya. Apa kau baik-baik saja? Senang? Atau memang kau mengharapkannya? Aku tak bisa apa-apa, sayang. Tak bisa. Arrgh.
Kedua, pada jarak. Kenapa sih dia begitu ingin menelan kita bulat-bulat? Membisikiku untuk selalu bertanya-tanya dengan siapa kau di sana. Aku sekarang sudah tak mampu bicara apa-apa. Kuberi kesempatan orrgan tubuh lain yang mulai menggertaknya.
Otak, Hati, Kepala, Tangan, silakan! Saatnya tak merahasiakan apa yang selama ini ingin kalian nyatakan. Anggap saja si Jarak sedang menunduk tepat di depanmu. Entah malu atau menyesal. Atau barangkali tidak dua-duanya, senang mungkin. Bisa jadi. Kalian utarakan saja betapa Tangan sebegitu sebalnya saat tangan-tangan teman yang lain saling menggenggam mesra. Merangkul manja. Lalu tanganmu sendirian kan? Kasian kan? Ayo utarakan!
          Dan kamu kaki, bilang saja. Betapa kau ingin berlari memeluk saat pikiranmu sedang kacau balau. Tapi lagi-lagi karena si Jarak kau hanya bisa berteriak.
Apalagi kamu Hati, aku tak perlu basa-basi. Sebenarnya kamulah aktor dari semua ini. Aku hanya sok tau bicara atas namamu. Padahal kamu sendiri mampu menyampaikannya dengan lugas tanpa terbata-bata. Katakan saja bagaimana kamu harus membujuk mata tiap malam untuk tak menghujani pipi sepanjang malam. Bilang saja apa yang paling menyakitkan saat semuanya seperti sudah direncanakan. Ayo, aku lelah Hati, jika harus mendapati kau yanag mangalah begitu saja. Atau kau tenang saja, kali ini si Otak tak akan menghujatmu habis-habisan, Dia di pihakmu hari ini. Berbahagialah, kemudian bicaralah. Aku sudah muak dengan tingkah si jarak yang meras aman-aman saja. Seakan tanpa dosa. Huh
Terakhir mungkin, pada Otak. Aku tak pernah meragukanmu dalam hal protes, kritik bahkan marah. Silakan luapkan semuanya. Badanmu tentu lebih besar dari si keparat Jarak itu. Dia mungkin bahkan akan berlutut di depanmu. Beranikan saja Otak, dia pantas kita perlakukan demikian, bukankah dia yang selama ini menyengsarakan?
Terakhir aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Tak peduli nanti didatangi ratusan warga: Hei, Jarak. Jika kamu bisa lebih meyakinkan, aku bisa menerimamu menjadi teman yang layak pakai. Dengan catatan seluruh organ tubuhku tak satupun menggerutu apalagi menangis tak karuan. Silakan buktikan! Bahwa kau punya stu rahasia yang patut untuk kuperjuangkan!.


**Mendengarkan ‘Distance’ Katty Perri feat Jason Mraz.

Kamis, 15 Mei 2014

Namanya, HUJAN!

Diposting oleh Unknown di 03.54 0 komentar

*Just like the clouds my eyes will do the same
If you walk away, every day
it will rain, rain, rain*
***
09 Pebruari 2014
Di luar hujan. Maka jangan salahkan jika aku harus meringkuk kaku di kamar sendirian mendapati hal yang paling aku benci sejak aku dilahirkan. Tentang beberapa alasan, sudah berulangkali aku utarakan. Banyak yang bilang karena aku masih belum pernah melebur dengan ribuan tetesnya yang menenangkan, tapi sungguh bukan itu. Semasa kecil pernah kucoba merapikan payung dalam ransel saat hujan sedang deras-derasnya. Lalu apa? Aku meriang tak tertolong setelahnya. Semakin aku tak suka.
Menurut nenek, Hujan adalah nama seorang gadis penunggu petang, badannya lemah dan ia tak punya teman. Tentang segerombolan air yang seringkali mengguyur, itulah air matanya yang ia keluarkan akibat rasa kesepian dan kesedihan yang mendalam. Maka dinamakanlah peristiwa turunya air itu dengan sebutan ‘Hujan’. Maka aku tak mau di dunia ini masih ada teman yang kesepian.
            Tapi sudahlah, lupakan tentang alasanku membenci hujan, malam ini ada yang ingin kuceritakan. Tentang kombinasi menarik yang membuat hatiku lumayan begidik: Hujan dan Rindu. Dua hal yang sama membuatku kehabisan cara berbahagia. Tapi bukankah cinta dan rindu adalah satu paket yang tak bisa dipisah satu-satu? Siap mengaku cinta berarti siap menanggung rindu.
Yup, aku pernah beberapa kali meyakinkan; aku mencintaimu. Ya! Kamu! Lelaki yang kukenal setahun yang lalu. Bermata sipit, berambut coklat, bermuka tirus. Dengan otot-otot kekar yang membuatku selalu ingin meredam lelah dan amarah ke pangkuanmu.Kita sengaja Tuhan takdirkan bertemu dengan cara yang tak pernah kita tunggu. Berawal dari ulah teman baikku yang ingin mengenalkan, menukarkan kontak kita satu sama lain. Entah maksudnya apa. Tiba-tiba kita saling bertukar cerita, laluaku mengagumimu dan secepat itu kamu kuanggap kekasihku. Tanpa kencan-kencan sakral yang pernah dilakukan semua remaja seusiaku pada malam minggu, kita sama berani merapal doa untuk sebuah masa depan. Terkadang aku merutuk jarak habis-habisan. Bagaimana ia tega menjauhkan sepasang kekasih yang saling membutuhkan. Ah, jarak ini. Panas di kotaku, kau meringkuk dalam selimut di kotamu.
Berulangkali aku pernah cemburu pada bantal dan gulingmu yang setiap hari menemanimu lelap dan melepas penat. Pernah juga sekali dalam perjalanan, aku melihat setiap pengendara motor persis wajahmu.Dan masih banyak hal lain yang labih gila daripada ini. Aku bahkan sering tersenyum dan tertawa sendiri tanpa mau disebut gila.
***
09 Mei 2014
Beberapa bulan terakhir ini serupa gigi berlubang yang kemasukan potongan gorengan: ada yang mengganjal. Waktu-waktu kita serasa dipangkas paksa oleh hantu paling menyebalkan bernama jarak dan kesibukan. Spontan saja ada banyak kecurigaan yang terpaksa harus aku pikirkan lebih dalam. Kita jarang komunikasi sekarang. Bukankah itu yang paling kita butuhkan saat jarak sudah tak mampu kita taklukkan? Kamu kenapa? Sedang baik-baik di sana? Aku selalu percaya benar ada kesibukan yang menuntutmu sekarang, tapi yakinku mustahil kau merapikan ponsel dalam saku siang-malam. Lalu kenapa tak sedikitpun tergerak untuk sekedar menyapa yang itu membuatku serasa melambung di udara?
Oh iya, besok adalah hari kebesaranmu. Hari pertama kamu dilahirkan. Kita ada janji bertemu bukan? Syukurlah, barangkali besok aku berani memarahimu habis-habisan atas kelakuanmu yang dengan sadar menjadikanku objek kedua setelah kesibukan. Baiknya sekarang aku tidur saja. Mempersiapakan untuk sebuah ketenangan esok hari.
***
Pagi itu di kotamu.
Rupanya kau menunggu lebih awal. Ada senyum kecil hatiku yang tak bisa kurahasiakan.
“Hei, apa kabar?”, kamu memulai percakapan.
“Aku baik. Tapi mataku sedikit bengkak, kurang istirahat”, aku memancingmu untuk menyadarkanmu betapa kamu telah benar sengaja menjadikanku malam-malamku insomnia.
“Jangan bilang karenaku”, ekspresimu datar. Aku serasa tertampar.
Aku diam. Lalu kau melanjutkan.
 “Maaf akhir-akhir ini aku akan disibukkan banyak hal. Kamu tak perlu menjadi seperti janda kehilangan suami saat aku tak berkabar. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk sendirian”. Rupanya kamu sudah mulai kurangajar.
“Oh iya, tak apa. Aku baik-baik saja”. Entah kenapa tiba-tiba aku tak bisa menuntutmu apa-apa selain menerima.
“Sepertinya aku harus ke kampus sekarang. Ada rapat yang menunggu, terimakasih kedatangannya”. Ucapmu sambil berbalik arah.
“Hmm, Happy Birthday. Semoga tercapai cita.” Aku terbata-bata, sembari memberikan kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari menjelang hari istimewamu.
“Oh, aku benar-benar lupa. Terimakasih”. Kamu mengambilnya dari tanganku lalu pergi, tak berbalik lagi.
Oh Tuhan, aku ingin menekan tombol Pause kehidupan. Agar kenyataan ini berhenti sebentar, aku ingin mengambil nafas. Kali ini aku lebih dari sekedar terpukul dan tertampar. Inginku hal-hal membahagiakan saja yang harus terjadi hari ini. Tapi..
Tiba-tiba hujan. Entah kenapa aku melupakan kebencianku pada tetesnya. Malah aku sedang butuh banturannya menyembunyikan ribuan air mata yang akan segera menderas. Dan sampai di sini aku sadar, lantaran sebuah  jarak, menyusul ada hal-hal yang mencoba susah payah memisahkan, termasuk rasa bosan.
***
Mataku terus menghujan. Deras. Deras sekali. Inikah yang kau bilang tangisan seorang gadis yang kesepian, Nek?

Selasa, 13 Mei 2014

Jin Bernama Kesibukan

Diposting oleh Unknown di 11.55 0 komentar


Seperti terbangun dari mimpi buruk. Segalanya tampak menyakitkan untuk kutulis jika harus melalui proses mengingat. Terlalu tiba-tiba tapi terlalu nyata di depan mata. Entah sejak kapan aku mau berpikir ruwet begini. Sekali lagi ini bukan berburuk sangka atau apalah. Ini murni yang aku rasa. Aneh? Wajar saja. Titel perempuankulah yang melawan titel lelakimu. Karena sampai kapanpun, lelaki dan perempuan itu memang beda. Bukan begitu?
Segalanya akan terasa asing bagimu. Menganggapku terlalu berlebihan itu sudah tugasmu barangkali. Dan tak pernah ada dalam kamusmu untuk sedikit membahagiakan dengan cara yang berlebihan. Padahal kita punya cara  tersendiri untuk berbahagia. Aku? Ya begini, sok kuat saat seperti janda kehilangan suami. Jelas kau tak suka itu. “Berlebihan” kau bilang.
Baiklah, tanpa basa-basi kau harus tau, entah dengan cara apa harus sampai padamu: Sekarang kamu berubah. Tak lagi memanjakanku seperti adik perempuanmu, seperti teman yang paling kau sayangi, seperti Ibu yang sangat merindukanmu. Tapi siapa aku menuntut begitu? Haha. Aku memang terlalu kurang ajar kadang.
Jika orang bilang tahun ke dua dalam sebuah pernikahan itu bagaikan petir, aku mulai bisa mengiyakan. Bagaimana tidak? Aku sudah lebih dari sekedar mnengalami. Meski ikatan ini tanpa suatu  upacara sakral bernama pernikahan. Tapi aku cukup tau.
Dari dulu memang aku sudah percaya bahwa kesibukan akan membuat kita cinta kesendirian. Sebaliknya, kesendirian membuat kita sangat mengimpikan kebersamaan.  Sekarang kita benar-benar seperti kenalan asing yang hanya saling menjaga satu sama lain. Seperti belum mengenal. Ya, seperti baru menyebutkan nama dan alamat, belum pernah berbagi lebih dari itu. Atau bahkan menurutku sekarang kita seperti partner organisasi dari dua kampus yang berbeda. Cukup seperti itu. Berbagi cerita kerja dan wacana. Ah, menyebalkan. Aku ingin lebih dari itu, tapi aku malu harus menyampaikan padamu.
Hari-harimu sekarang sungguh sangat disibukkan dengan hal-hal yang aku sendiri tak tau. Sekedar untuk menyapa dan tanya kabar seperti belum ada kesempatan. Padahal dalam pikirku, mustahil dalam jangka waktu 24 jam kau merapikan ponsel dalam saku. Lalu kemana kepedulianmu meski untuk basa-basi yang itu menyenangkanku?
Dan saat dalam kekalutan beginipun, aku harus menyembunyikannya serapi mungin dalam rak kosong di sudut-sudut lemari. Sebab kau tak suka. Inginmu kita jalani dengan sederhana saja. Tapi sederhana versi siapa?
Meski menyimpan sakit ini serasa hal paling mengasyikkan. Sangat rahasia. Kau tak perlu tau. Sedikitpun tak perlu. Aku sudah tau apa yang akan terjadi jika berita ini sampai di telingamu. Dan aku tak mau. Aku cukup menuliskannya. Di sini. Ruang yang tak akan pernah kamu singgahi.
Lalu aku akan dengan rela tetap terlihat baik-baik saja demi menjadi sosok perempuan yang kamu ingini, barangkali. Lagi-lagi.
Lagipula aku ingat dengan jelas bahasa Sudjiwo Tedjo: “Pengorbanan itu berdasarkan perhitungan. Lalu dalam sebuah perasaan, jangan anggap itu Cinta jika masih penuh perhitungan”. So, I’ll love unconditionally kata Katy Pery. J Tanpa Syarat. Aku bahagia dengan cara sakitku ini.
*Al. 06 Mei 2014

Resmi: Hari ini rindu Ibu. (Sebuah Refleksi)

Diposting oleh Unknown di 11.49 0 komentar



**Barangkali dalam hal ini ingatanku akan bekerja lebih baik. Tak seperti saat disuruh menghafal pelajaran dan matakuliah yang super duper membingungkan. Ingatanku serupa hardisk yang mampu menampung ribuan giga file dari segala peristiwa, yang saat ini entah kenapa bisa terputar begitu saja.
Awalnya aku tak ingin mengingatnya, khawatir kelimpungan menampung gejolak rindu setelahnya. Tapi dasar aku lupa, dalam ilmu Biologi dasar bukannya sudah dijelaskan betapa romantisnya hubungan gen antara seorang Ibu dan anak. Dan hari ini, kau resmi terkana setrum itu. Gerahamku mengeras, badanku menegang, mataku memanas. Aku hanya ingin satu hal: Menghambur di pelukmu. Lalu menceritakan dengan lantang tentang orang-orang yang akhir-akhir ini tugasnya melebihi seorang hantu yang paling menyeramkan. Yang akhir-akhir ini belajar menyaingi rinduku pada penghuni rumah ternyamanku. Tapi tak perlu ada yang perlu dikhawatirkan, hantu itu memang manyeramkan tapi tak sedikitpun membahayakan. Dan rindu itu, memang sama besar, tapi aku akan sadar saat menanyakan kembali pada hati dengan lebih tenang.
Tentang Ibu;
Tak peduli seberapa sering dia marah, saat dalam keadaan ini hanya di pangkuannya aku  ingin berkeluh kesah. Mengalirkan air mata tanpa ada sungkannya. Melampiaskan segala kecewa dan luka bahkan sampai tak jarang mencubitnya. Membisikkan tepat di telinganya bahwa ia aku larang menceritakan apapun di depan ayah, dilarang memarahi, dilarang menasihati. Pada fase pertama dia hanya boleh mendengarkan. Lalu  dengan tanpa beban ia mendengarkan, sesekali menyibak rambutku yang berantakan tak karuan, menggenggam tanganku memberi kekuatan. Dalam posisi tetap diam.
Aku tak pernah meragukannya dalam hal menghargai. Tapi namanya Ibu, mustahil mengakhiri pertemuan tanpa sebuah wejangan.
Terakhir dia akan bicara panjang lebar, yang kualitasnya terkadang melebihi isi buku-buku di pasaran. Tak jemu ia selalu mengingatkan, agar putri kesayangnnya tak sampai masuk jurang. Aku masih ingat, bagaimana Ibu mengajarkan tentang hidup yang tak jarang membuat orang kehilangan akal. ‘Begitulah Hidup, tapi ada banyak cara untuk menghadapi segala situasinya’ selalu katanya.

*Entah kenapa hari ini aku begitu merindukannya. Rindu caranya membangunkan di pagi hari. Rindu caranya memposisikan kepeduliannya yang selalu tepat waktu dalam situasi dan kondisi apapun. Rindu caranya mengajak untuk tak bermalas-malasan membersihkan rumah. Rindu segala halnya.
Bu, kau tetap akan jadi rumah ternyaman untuk aku berpulang. Miss you so. :*
***Sst, jangan berisik, aku malu jika harus ketahuan ayah. :D
12 Mei 2014

‘Hari Aksi se-Dunia’

Diposting oleh Unknown di 11.45 0 komentar



Ini hari spesial. Sengaja ku kemas dengan seapik mungkin untuk tak sedikitpun manyinggung makhluk-makhluk yang membacanya. Ini hari sudah terencana sejak beberapa minggu yang lalu. Mencari waktu dan kesempatan yang pas untuk menjalankan apa yang sudah nyaris melumut di kepala. Hari ini adalah ‘Hari Aksi se Dunia’. Aksi protesku pada seluruh organ paling jahat dalam dunia hidupku. Dalam aksi ini aku orator tunggal. Tanpa bantuan makhluk bernama manusia lainnya. Aku hanya iseng mengajak sahabat-sahabat lama: Otak, Hati dan Organ tubuh tercinta (Lalu aku bicara atas nama siapa? Ah, entahlah).
Pertama pada kesibukan, aku begitu ingin protes, kenapa melulu hadir dalam waktu yang menurutku kurang tepat. Memasuki zona amanku bersama teman sedekat bahuku tanpa tanya-tanya terlebih dahulu. Tapi anehnya aku diam saja. Menganggukkan kepala tanda setuju dengan bermacam program amburadulnya. Seakan menghipnotisku yang seakan mau baik-baik saja menghamba tepat di depan mukannya. Aku serasa tak punya cara untuk mengabarkannya tentang hal-hal lain yang harus kukerjakan dengan tenang tanpa harus buru-buru. Aku ingin menyelesaikannya satu-satu. Merasakan, manghayati dan menikmati. Tapi dasar si kesibukan tak punya kepala. Dia masih berbuat seperti sedia kala. Tak sadar berapa ribu kepala yang dirugikan.
Lalu pada kesibukan, kembali aku ingin memprotesnya. Atau lebih tepat memarahinya, kenapa dengan tega memangkas waktu-waktu yang pernah kita kenal dengan nama ‘Waktu kita’. Apa mungkin dia cemburu? Lalu atas dasar apa? Dia meyukaimu? Kurasa begitu. Buktinya dia begitu ingin menghabiskan waktu-waktu bersamamu. Memandangmu, melihatmu dan membersamaimu. Lalu di sini aku hanya bisa gigit jari. Membayangkan  kemesraanmu bersamanya. Apa kau baik-baik saja? Senang? Atau memang kau mengharapkannya? Aku tak bisa apa-apa, sayang. Tak bisa. Arrgh.
Kedua, pada jarak. Kenapa sih dia begitu ingin menelan kita bulat-bulat? Membisikiku untuk selalu bertanya-tanya dengan siapa kau di sana. Aku sekarang sudah tak mampu bicara apa-apa. Kuberi kesempatan orrgan tubuh lain yang mulai menggertaknya.
Otak, Hati, Kepala, Tangan, silakan! Saatnya tak merahasiakan apa yang selama ini ingin kalian nyatakan. Anggap saja si Jarak sedang menunduk tepat di depanmu. Entah malu atau menyesal. Atau barangkali tidak dua-duanya, senang mungkin. Bisa jadi. Kalian utarakan saja betapa Tangan sebegitu sebalnya saat tangan-tangan teman yang lain saling menggenggam mesra. Merangkul manja. Lalu tanganmu sendirian kan? Kasian kan? Ayo utarakan!
          Dan kamu kaki, bilang saja. Betapa kau ingin berlari memeluk saat pikiranmu sedang kacau balau. Tapi lagi-lagi karena si Jarak kau hanya bisa berteriak.
Apalagi kamu Hati, aku tak perlu basa-basi. Sebenarnya kamulah aktor dari semua ini. Aku hanya sok tau bicara atas namamu. Padahal kamu sendiri mampu menyampaikannya dengan lugas tanpa terbata-bata. Katakan saja bagaimana kamu harus membujuk mata tiap malam untuk tak menghujani pipi sepanjang malam. Bilang saja apa yang paling menyakitkan saat semuanya seperti sudah direncanakan. Ayo, aku lelah Hati, jika harus mendapati kau yanag mangalah begitu saja. Atau kau tenang saja, kali ini si Otak tak akan menghujatmu habis-habisan, Dia di pihakmu hari ini. Berbahagialah, kemudian bicaralah. Aku sudah muak dengan tingkah si jarak yang meras aman-aman saja. Seakan tanpa dosa. Huh
Terakhir mungkin, pada Otak. Aku tak pernah meragukanmu dalam hal protes, kritik bahkan marah. Silakan luapkan semuanya. Badanmu tentu lebih besar dari si keparat Jarak itu. Dia mungkin bahkan akan berlutut di depanmu. Beranikan saja Otak, dia pantas kita perlakukan demikian, bukankah dia yang selama ini menyengsarakan?
Terakhir aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Tak peduli nanti didatangi ratusan warga: Hei, Jarak. Jika kamu bisa lebih meyakinkan, aku bisa menerimamu menjadi teman yang layak pakai. Dengan catatan seluruh organ tubuhku tak satupun menggerutu apalagi menangis tak karuan. Silakan buktikan! Bahwa kau punya stu rahasia yang patut untuk kuperjuangkan!.


**Mendengarkan ‘Distance’ Katty Perri feat Jason Mraz.

 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang