*Just like the clouds my eyes will do the
same
If you walk away, every day it will rain, rain, rain*
If you walk away, every day it will rain, rain, rain*
***
09 Pebruari 2014
Di luar
hujan. Maka jangan salahkan jika aku harus meringkuk kaku di kamar sendirian mendapati
hal yang paling aku benci sejak aku dilahirkan. Tentang beberapa alasan, sudah
berulangkali aku utarakan. Banyak yang bilang karena aku masih belum pernah
melebur dengan ribuan tetesnya yang menenangkan, tapi sungguh bukan itu. Semasa
kecil pernah kucoba merapikan payung dalam ransel saat hujan sedang
deras-derasnya. Lalu apa? Aku meriang tak tertolong setelahnya. Semakin aku tak
suka.
Menurut
nenek, Hujan adalah nama seorang gadis penunggu petang, badannya lemah dan ia
tak punya teman. Tentang segerombolan air yang seringkali mengguyur, itulah air
matanya yang ia keluarkan akibat rasa kesepian dan kesedihan yang mendalam. Maka
dinamakanlah peristiwa turunya air itu dengan sebutan ‘Hujan’. Maka aku tak mau
di dunia ini masih ada teman yang kesepian.
Tapi
sudahlah, lupakan tentang alasanku membenci hujan, malam ini ada yang ingin
kuceritakan. Tentang kombinasi menarik yang membuat hatiku lumayan begidik: Hujan
dan Rindu. Dua hal yang sama membuatku kehabisan cara berbahagia. Tapi bukankah
cinta dan rindu adalah satu paket yang tak bisa dipisah satu-satu? Siap mengaku
cinta berarti siap menanggung rindu.
Yup, aku
pernah beberapa kali meyakinkan; aku mencintaimu. Ya! Kamu! Lelaki yang kukenal
setahun yang lalu. Bermata sipit, berambut coklat, bermuka tirus. Dengan
otot-otot kekar yang membuatku selalu ingin meredam lelah dan amarah ke
pangkuanmu.Kita sengaja Tuhan takdirkan bertemu dengan cara yang tak pernah
kita tunggu. Berawal dari ulah teman baikku yang ingin mengenalkan, menukarkan
kontak kita satu sama lain. Entah maksudnya apa. Tiba-tiba kita saling bertukar
cerita, laluaku mengagumimu dan secepat itu kamu kuanggap kekasihku. Tanpa
kencan-kencan sakral yang pernah dilakukan semua remaja seusiaku pada malam
minggu, kita sama berani merapal doa untuk sebuah masa depan. Terkadang aku
merutuk jarak habis-habisan. Bagaimana ia tega menjauhkan sepasang kekasih yang
saling membutuhkan. Ah, jarak ini. Panas di kotaku, kau meringkuk dalam selimut
di kotamu.
Berulangkali
aku pernah cemburu pada bantal dan gulingmu yang setiap hari menemanimu lelap
dan melepas penat. Pernah juga sekali dalam perjalanan, aku melihat setiap
pengendara motor persis wajahmu.Dan masih banyak hal lain yang labih gila
daripada ini. Aku bahkan sering tersenyum dan tertawa sendiri tanpa mau disebut
gila.
***
09 Mei 2014
Beberapa
bulan terakhir ini serupa gigi berlubang yang kemasukan potongan gorengan: ada
yang mengganjal. Waktu-waktu kita serasa dipangkas paksa oleh hantu paling
menyebalkan bernama jarak dan kesibukan. Spontan saja ada banyak kecurigaan
yang terpaksa harus aku pikirkan lebih dalam. Kita jarang komunikasi sekarang.
Bukankah itu yang paling kita butuhkan saat jarak sudah tak mampu kita
taklukkan? Kamu kenapa? Sedang baik-baik di sana? Aku selalu percaya benar ada
kesibukan yang menuntutmu sekarang, tapi yakinku mustahil kau merapikan ponsel
dalam saku siang-malam. Lalu kenapa tak sedikitpun tergerak untuk sekedar
menyapa yang itu membuatku serasa melambung di udara?
Oh iya, besok
adalah hari kebesaranmu. Hari pertama kamu dilahirkan. Kita ada janji bertemu
bukan? Syukurlah, barangkali besok aku berani memarahimu habis-habisan atas
kelakuanmu yang dengan sadar menjadikanku objek kedua setelah kesibukan.
Baiknya sekarang aku tidur saja. Mempersiapakan untuk sebuah ketenangan esok
hari.
***
Pagi itu di kotamu.
Rupanya
kau menunggu lebih awal. Ada senyum kecil hatiku yang tak bisa kurahasiakan.
“Hei, apa
kabar?”, kamu memulai percakapan.
“Aku
baik. Tapi mataku sedikit bengkak, kurang istirahat”, aku memancingmu untuk
menyadarkanmu betapa kamu telah benar sengaja menjadikanku malam-malamku
insomnia.
“Jangan
bilang karenaku”, ekspresimu datar. Aku serasa tertampar.
Aku diam.
Lalu kau melanjutkan.
“Maaf akhir-akhir ini aku akan disibukkan
banyak hal. Kamu tak perlu menjadi seperti janda kehilangan suami saat aku tak
berkabar. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk sendirian”. Rupanya kamu sudah
mulai kurangajar.
“Oh iya,
tak apa. Aku baik-baik saja”. Entah kenapa tiba-tiba aku tak bisa menuntutmu
apa-apa selain menerima.
“Sepertinya
aku harus ke kampus sekarang. Ada rapat yang menunggu, terimakasih
kedatangannya”. Ucapmu sambil berbalik arah.
“Hmm,
Happy Birthday. Semoga tercapai cita.” Aku terbata-bata, sembari memberikan
kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari menjelang hari istimewamu.
“Oh, aku
benar-benar lupa. Terimakasih”. Kamu mengambilnya dari tanganku lalu pergi, tak
berbalik lagi.
Oh Tuhan,
aku ingin menekan tombol Pause kehidupan. Agar kenyataan ini berhenti sebentar,
aku ingin mengambil nafas. Kali ini aku lebih dari sekedar terpukul dan
tertampar. Inginku hal-hal membahagiakan saja yang harus terjadi hari ini.
Tapi..
Tiba-tiba
hujan. Entah kenapa aku melupakan kebencianku pada tetesnya. Malah aku sedang
butuh banturannya menyembunyikan ribuan air mata yang akan segera menderas. Dan
sampai di sini aku sadar, lantaran sebuah
jarak, menyusul ada hal-hal yang mencoba susah payah memisahkan,
termasuk rasa bosan.
***
Mataku terus menghujan. Deras. Deras
sekali. Inikah yang kau bilang tangisan seorang gadis yang kesepian, Nek?