Mei 2030.
Kupanggil Kau Kakek
Ini
bukan jenis tulisan roman. Melainkan hanya sebuah catatan usang
perempuan penunggu petang. Anggap saja ini surat pemberitahuan yang malu
kuucapkan.Bertahun-tahun aku mampu nakal tanpa pernah menyampaikan
maksud dan tujuan. Hanya melalui senyuman, kupikir aku sudah rampung
menyampaikan.
Tentang tulisan ini, hanya sejenis
keinginan mengenalkanmu pada seisi kota yang tak pernah melahirkanmu.
Ingin memberitahu bahwa kamu pernah berniat ada tapi kau urungkan karena
satu dan lain hal. Kamu yang kumaksud adalah lelaki yang kukenal
sebagai kakek-kakek. Berusia setengah abad dengan tubuh masih kekar.
Kamu tinggi kurus, bermuka tirus, tapi yakinku banyak disukai
teman-teman SMA mu dulu. Nakalnya, kamu cukup tampan, manis juga
kurasa. Ah, kupanggil kau kakek.
Sebenarnya ada yang paling ingin kuistimewakan kan dalam ribua kisahmu: Di Taman Bunga. Sore itu,
Kamu
tampak kebingungan. Mengitari tepi taman dengan hitungan puluhan. Entah
apa yang kau cari atau siapa yang ingin kau temui. Saat itu aku masih
duduk kaku di parkiran. Dengan bantuan sebuah motor butut, aku berhasil
duduk nyaman memperhatikanmu. Sama sekali kau tak sadar aku mengikutimu.
Untuk menyapamu lebih tepatnya aku malu. Sebab kamu baru kukenal
puluhan hari lalu. Apalagi saat mendengar berita kegagalanmu mendapatkan
sesuatu. Aku semakin tak punya bekal menenangkanmu dan memberimu
tawaran lain untuk tenang-tenang saja. Dan kau masih berputar-putar
tanpa tahu malu. Petugas keamanan taman berulangkali juga melirik tajam
ke arahmu. Tapi dasar kau tak mau peduli, terus berputar tetap jadi
pilihanmu.
Satu jam.
Dua jam.
Eits,
tunggu. Ada yang lupa kusampaikan dalam tulisan ini dari awal. Sore
itu, kau membawa begitu banyak kardus yang isinya entah apa. Sekitar 5
kardus yang kau jinjing dan kau seret begitu saja. Baju? Buku? Makanan?
Entah.
Aku mulai berpikir keras. Kamu kenapa? Mau
kemana? Mencari siapa? Kuputuskan untuk berbalik arah. Berhenti
memperhatikanmu, melainkan memikirkanmu. Bukankah memikirkan bisa
kulakukan tanpa harus ada tautan? Ya, kurasa begitu. Aku mulai duduk
bersandar di bawah pohon yang kutak tau namanya. Mencari tentangmu dan
apa yang membuatmu berkeliling tak jelas seperti itu. Berpikir.
Berpikir.
Astaga, matahari rupanya sudah berpulang tanpa kusadar. Ini sudah malam? Lalu kenapa kau belum pulang?
Selanjutnya aku harus bagaimana? Masih menunggumu yang nyaris linglung? Atau pulang saja?
Kuputuskan
memilih pilihan jawaban kedua. Karena saat itu aku mulai tenang. Ada
satu jawaban yang kutemukan. Kamu sedang mencari 'KAMAR': tempatmu
istirahat, bersembunyi dari segala penat, menyimpan segala apapun yang
kau punya, dan apapun bisa kau lakukan di sebuah ruangan bernama kamar.
Kurasa benar kau sedang mencarinya di taman itu.
Lalu pada yang membaca tulisan ini? Tolong beri aku jawaban atas sebuah pertanyaan: Adakah persedian Kamar di titik pusat Taman?
Sementara
kupikir tak ada, karena di sana hanya menyajikan keindahan dan
keharuman dari setiap bunga di dalamnya. Masih untung ada kolam, tak
mungkin kamar. Percayalah!
Sebelum aku pulang dan
berbalik arah, aku percaya angin bisa menyampaikan padamu di ujung sana:
"Hei, kamu sedang dalam kesia-siaan pencarian. Tamanku tak menyediakan
apa yang kau butuhkan. Jika hanya ingin mencari ketenangan yang
barangkali sesaat, silakan datang. Bawa kembali 5 kardus beban yang
memberatkanmu selama ini, jika tak ingin permukaannya rusak oleh panas
dan hujan. Sebab Tamanku tak menyediakan atap. Tapi jangan salah paham,
bukan aku yang sengaja tak menampungnya, kamu sendiri yang tetap ingin
membawanya. Jelas itu di luar batas mampuku. Selamat tenang. Selamat
mencari ketenangan. Yang barangkali menurutmu, di sini tak akan kamu
temukan. Selamat ".
Kupanggil kau kakek. Kakek Kancil. Kakek Pablo :)