Ini adalah bulan istimewa bagi Surabaya dan segenap penduduknya.
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung
Senin, 04 Mei 2015
Menggodok Mie #1
“Siapa sangka yang akan hadir di
masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”
@Untuk kita yang the first
sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
Kamu
asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku-
dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku
memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran
mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan
yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas
kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku. Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama
Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk
persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah
kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah
menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan
memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku
menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang
tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.
Kita bertemu
tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu
untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita
bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi
kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal
penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu
jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku
yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik
utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak
kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak
sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu
saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih
kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di
depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja.
Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang
baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.
Tigapuluh
menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai
wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa
saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah
kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian
lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat
basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku
untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku
sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang
jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala.
Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega
melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara
pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju
di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.
“Nggak apa
kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.
Kamu mengangguk.
Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam
menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan
mungkin sampai sekarang.
Entah
bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali
ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat
itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain.
Akutak ingat jelas pastinya.
Aku pun
kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.
***
Tiga tahun berlalu.
Kawat: Apa kabar, Le?
Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis
jelas di akunku?
La’la’: Baik.
Aku menjawab simpel. Buru-buru
menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget
bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan
proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke
kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang
berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang
memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa
perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan
sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan
banyak pertanyaan lainnya.
Kita lalu
melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail
percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu
menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.
Sebulan.
Dua bulan
Tiga bulan.
Kamu sedang dalam masalah besar.
Bersambung.
Label:
Feel
Langganan:
Postingan (Atom)
Senin, 04 Mei 2015
Ini adalah bulan istimewa bagi Surabaya dan segenap penduduknya.
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung
Kadangkala aku dengan bangga mendeklasikan bahwa aku murni penduduk kota ini. Tapi begitu melihat KTP yang fotonya sungguh tidak ingin kutunjukkan kepada siapapun di dunia, aku jadi merasa tak perlu membanggakan diri menjadi bagian dari kota metropolitan yang ramainya minta ampun begini. Aku seharusnya mencinta tanah lahirku melebihi kampung modern dengan segala gemerlapnya di sini. Setiap pagi yang kulalui tanpa harus sibuk mengipasi tubuh sana sini, sebaliknya bahkan jaket tebal yang selalu menemani.
bersambung
Menggodok Mie #1
“Siapa sangka yang akan hadir di
masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”
@Untuk kita yang the first
sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
Kamu
asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku-
dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku
memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran
mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan
yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas
kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku. Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama
Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk
persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah
kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah
menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan
memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku
menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang
tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.
Kita bertemu
tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu
untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita
bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi
kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal
penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu
jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku
yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik
utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak
kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak
sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu
saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih
kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di
depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja.
Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang
baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.
Tigapuluh
menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai
wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa
saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah
kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian
lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat
basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku
untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku
sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang
jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala.
Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega
melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara
pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju
di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.
“Nggak apa
kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.
Kamu mengangguk.
Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam
menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan
mungkin sampai sekarang.
Entah
bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali
ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat
itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain.
Akutak ingat jelas pastinya.
Aku pun
kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.
***
Tiga tahun berlalu.
Kawat: Apa kabar, Le?
Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis
jelas di akunku?
La’la’: Baik.
Aku menjawab simpel. Buru-buru
menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget
bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan
proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke
kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang
berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang
memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa
perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan
sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan
banyak pertanyaan lainnya.
Kita lalu
melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail
percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu
menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.
Sebulan.
Dua bulan
Tiga bulan.
Kamu sedang dalam masalah besar.
Bersambung.
Langganan:
Postingan (Atom)