Minggu, 14 Desember 2014

Hujan Tiga Rintik


Kau tau kenapa turunnya air yang bersamaan dinamakan hujan? Aku sendiri tak tau mengapa. Yang pasti, saat ada yang turun bersamaan, kuberinama itu hujan.

Baiklah, lalu ini tentang cerita hujan. Bukan dari langit, bukan dari hasil uap. Tapi ini murni beberapa hal yang mendadak turun bersamaan. Entah darimana, tiba-tiba saja hatiku membasah.
Ya, ini tentang hujan. Tetesan bersamaan yang turun berupa mata-mata menyenangkan. Aku akan menceritakan dari awal, sampai klimaks yang akan membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Dari Hujan pertama:

Namanya Pablo. Lelaki realis dengan model rambut tipis. Agak hitam tapi sangat manis. Sungguh. Dia manis. Sepanjang hidup, hanya sekali aku melihatnya secara langsung. Itupun sudah beberapa tahun yang lalu. Dan ada yang tak bisa dipungkiri dalam teks doa yang setiap malam aku rapalkan. Aku menginginkan untuk menjumpainya kembali entah kapan. Dia menemuiku saat dia dalam kekalutan besar. Saat benar-benar tak punya kekuatan. Sebagai teman yang baik, aku berusaha menyihir diriku sedemikian rupa agar tampak menyenangkan dan sedikit membuatnya merasa punya pegangan. Aku sok bijak, sok sabar, sok baik dan sok-sok yang lain. Entah dengan cara apa dia mulai menghargaiku dan tak sesederhana hanya mengakui keberadaanku sebagai teman. Lebih dari itu. Tapi dasar dia si lelaki matang, caranya sungguh tak pasaran. Beberapa kali aku hanya berani menyimpulkan, dengan pengamatan yang bisa jadi itu fatal: Kurasa dia mulai menyukaiku. Bukan cinta. Sekedar suka. Berulangkali dia bilang aku satu-satunya teman yang paling enak diajak bicara, karena aku memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa, menurutnya. Soal kekanakanku memang dia selalu mempermasalahkan, barangkali tak sesuai dengan isi otaknya yang menurutku bisa bikin seseorang lebih tua dari biasanya. Tapi secara keseluruhan, dia hanya tak punya cara mengungkapkan. Entah menunggu atau memang tak ada sesuatu.

Hujan kedua:

Namanya Hati. Sebenarnya aku ragu dengan penamaan itu. Tapi biarlah, sebagai anak Sastra Arab, aku gunakan sedikit mufrodat yang sudah sejak SD Ibu guru ajarkan. Aku ambil dari nama aslinya lalu kuterjemahkan. J Dia labih deras dari hujan pertama, entah wajah dan segala bentuk perhatiannya. Tak cuma manis, yang ini sudah banyak diidolakan teman-teman sekampus apalagi mahasiswa baru. Oh. Orangnya dingin. Tak punya selera humor yang tinggi. Tapi enak diajak ngobrol. Aku kenal dia dari salah satu organisasi yang aku geluti di fakultas. Sampai di tahun kedua, kita sama berada di dua organisasi yang sama. Pernah sekali aku benar-benar jadi partner kerjanya. Dia ketua, aku sekretarisnya. Mungkin dari sanalah cerita ini bermula. Pepatah lama memang selalu benar adanya, bahwa rasa suka akan datang saat sudah sering bersama. Kali ini aku berani mengiyakan. Karena sangat jelas dia menampakkan tanda-tanda yang membuatku tak bisa tidur siang malam. Hingga pada suatu sore, “Musuhan itu penting. Sebab aku selalu tegerak untuk memperhatikan setiap gerakmu. Dan itu sekuat tenaga berusaha aku sangkal, tak boleh ada suatu hubungan dengan saudara seatap”. Nah, aku sebagai perempuan biasa yang cenderung labil, mulai memikirkan kata-katanya dengan matang. Lama kita tak saling sapa. Bertemupun hanya sekedar nyubit, mandang dan mengacak kepala. Tak ada bahasa, lalu saling pergi meninggalkan. Itu yang aku rasakan sangat menyulitkannya. Aku sementara tidak masalah. Meski kutahu dia mati-matian tak mau menggubris perasaannnya sendiri terhadapku. Kadang aku berpikir, perlukah aku keluar dari organisasi untuk membuat hatinya lebih tenang dan nyaman? Tapi dasar dia bisa membaca pikiranku, beberapa bulan kemudian, dia kembali mengakrabiku seperti semula. Hingga sekarang, seperti ada suatu hal yang sama kita tahu, tanpa harus ada yang memberitahu. Cukup saling merasakan. Ah.

Hujan ketiga, sementara untuk yang terakhir:

Namanya Puisi. Kenapa begitu? Dia penyair. Pandai mengolah kata sampai aku serasa di surga. Semua orang taulah begaimana aku sangat menghargai sebuah bahasa. Bagiku itu lebih jujur dari sebuah kata-kata. Saat menemuiku pertama kali, persis seperti si hujan pertama: Dalam kekalutan besar. Tpi ini beda, dia labih kekanakan. Oh iya, lupa aku perkenalkan. Wajahnya kalem. Tidak begitu tinggi. Satu hal yang membuatku kadang geli sendiri jika harus membayangkan dengannya: Dia putra sulung seorang Ustadzku di pondok dulu. Dari sisi ini, kadang aku sedikit berharap lebih banyak. Tapi apalah arti nasab. :D Dia orang yang jujur, mengaku masih juga mencintai perempuannya yang pertama. Aku sih tak masalah. Kita jalani saja apa adanya. Sederhana. Yang penting bisa saling bertukar bahagia.

Untuk ketiga hujan, aku bersyukur sama Tuhan. Dulu kupikir tak akan pernah kutemukan makhluk-makhluk yang mau serius dan tak main-main di depanku. Thank’s God. Tapi sama sekali aku belum berani menyematkannya di sudut-sudut kosong di lemari dada. Aku belum yakin. Apalagi mengingat tanahku masih menggenang, baru saja banjir oleh lelaki bernama Sandal. Tentang sosoknya, tak perlu kuceritakan di sini. Kurasa tulisan-tulisan sebelumnya murni tentangnya yang kuistimewakan, sendirian. Intinya dia lelaki yang membuatku tak mau berhenti tersenyum dalam sebuah ingatan. 

Tanpa mau dianggap gila meski setiap saat aku terbahak sendirian saat mengingatnya. Sandal Oh Sandal.

Percaya atau tidak, saat menulis ini, di luar mendadak hujan. Spontan tanahku basah. Sebasah hati pertama yang masih berusaha kupegang erat: Al.

11 Juni 2014

Secangkir Coklat Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 14 Desember 2014

Hujan Tiga Rintik

Diposting oleh Unknown di 18.00

Kau tau kenapa turunnya air yang bersamaan dinamakan hujan? Aku sendiri tak tau mengapa. Yang pasti, saat ada yang turun bersamaan, kuberinama itu hujan.

Baiklah, lalu ini tentang cerita hujan. Bukan dari langit, bukan dari hasil uap. Tapi ini murni beberapa hal yang mendadak turun bersamaan. Entah darimana, tiba-tiba saja hatiku membasah.
Ya, ini tentang hujan. Tetesan bersamaan yang turun berupa mata-mata menyenangkan. Aku akan menceritakan dari awal, sampai klimaks yang akan membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Dari Hujan pertama:

Namanya Pablo. Lelaki realis dengan model rambut tipis. Agak hitam tapi sangat manis. Sungguh. Dia manis. Sepanjang hidup, hanya sekali aku melihatnya secara langsung. Itupun sudah beberapa tahun yang lalu. Dan ada yang tak bisa dipungkiri dalam teks doa yang setiap malam aku rapalkan. Aku menginginkan untuk menjumpainya kembali entah kapan. Dia menemuiku saat dia dalam kekalutan besar. Saat benar-benar tak punya kekuatan. Sebagai teman yang baik, aku berusaha menyihir diriku sedemikian rupa agar tampak menyenangkan dan sedikit membuatnya merasa punya pegangan. Aku sok bijak, sok sabar, sok baik dan sok-sok yang lain. Entah dengan cara apa dia mulai menghargaiku dan tak sesederhana hanya mengakui keberadaanku sebagai teman. Lebih dari itu. Tapi dasar dia si lelaki matang, caranya sungguh tak pasaran. Beberapa kali aku hanya berani menyimpulkan, dengan pengamatan yang bisa jadi itu fatal: Kurasa dia mulai menyukaiku. Bukan cinta. Sekedar suka. Berulangkali dia bilang aku satu-satunya teman yang paling enak diajak bicara, karena aku memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa, menurutnya. Soal kekanakanku memang dia selalu mempermasalahkan, barangkali tak sesuai dengan isi otaknya yang menurutku bisa bikin seseorang lebih tua dari biasanya. Tapi secara keseluruhan, dia hanya tak punya cara mengungkapkan. Entah menunggu atau memang tak ada sesuatu.

Hujan kedua:

Namanya Hati. Sebenarnya aku ragu dengan penamaan itu. Tapi biarlah, sebagai anak Sastra Arab, aku gunakan sedikit mufrodat yang sudah sejak SD Ibu guru ajarkan. Aku ambil dari nama aslinya lalu kuterjemahkan. J Dia labih deras dari hujan pertama, entah wajah dan segala bentuk perhatiannya. Tak cuma manis, yang ini sudah banyak diidolakan teman-teman sekampus apalagi mahasiswa baru. Oh. Orangnya dingin. Tak punya selera humor yang tinggi. Tapi enak diajak ngobrol. Aku kenal dia dari salah satu organisasi yang aku geluti di fakultas. Sampai di tahun kedua, kita sama berada di dua organisasi yang sama. Pernah sekali aku benar-benar jadi partner kerjanya. Dia ketua, aku sekretarisnya. Mungkin dari sanalah cerita ini bermula. Pepatah lama memang selalu benar adanya, bahwa rasa suka akan datang saat sudah sering bersama. Kali ini aku berani mengiyakan. Karena sangat jelas dia menampakkan tanda-tanda yang membuatku tak bisa tidur siang malam. Hingga pada suatu sore, “Musuhan itu penting. Sebab aku selalu tegerak untuk memperhatikan setiap gerakmu. Dan itu sekuat tenaga berusaha aku sangkal, tak boleh ada suatu hubungan dengan saudara seatap”. Nah, aku sebagai perempuan biasa yang cenderung labil, mulai memikirkan kata-katanya dengan matang. Lama kita tak saling sapa. Bertemupun hanya sekedar nyubit, mandang dan mengacak kepala. Tak ada bahasa, lalu saling pergi meninggalkan. Itu yang aku rasakan sangat menyulitkannya. Aku sementara tidak masalah. Meski kutahu dia mati-matian tak mau menggubris perasaannnya sendiri terhadapku. Kadang aku berpikir, perlukah aku keluar dari organisasi untuk membuat hatinya lebih tenang dan nyaman? Tapi dasar dia bisa membaca pikiranku, beberapa bulan kemudian, dia kembali mengakrabiku seperti semula. Hingga sekarang, seperti ada suatu hal yang sama kita tahu, tanpa harus ada yang memberitahu. Cukup saling merasakan. Ah.

Hujan ketiga, sementara untuk yang terakhir:

Namanya Puisi. Kenapa begitu? Dia penyair. Pandai mengolah kata sampai aku serasa di surga. Semua orang taulah begaimana aku sangat menghargai sebuah bahasa. Bagiku itu lebih jujur dari sebuah kata-kata. Saat menemuiku pertama kali, persis seperti si hujan pertama: Dalam kekalutan besar. Tpi ini beda, dia labih kekanakan. Oh iya, lupa aku perkenalkan. Wajahnya kalem. Tidak begitu tinggi. Satu hal yang membuatku kadang geli sendiri jika harus membayangkan dengannya: Dia putra sulung seorang Ustadzku di pondok dulu. Dari sisi ini, kadang aku sedikit berharap lebih banyak. Tapi apalah arti nasab. :D Dia orang yang jujur, mengaku masih juga mencintai perempuannya yang pertama. Aku sih tak masalah. Kita jalani saja apa adanya. Sederhana. Yang penting bisa saling bertukar bahagia.

Untuk ketiga hujan, aku bersyukur sama Tuhan. Dulu kupikir tak akan pernah kutemukan makhluk-makhluk yang mau serius dan tak main-main di depanku. Thank’s God. Tapi sama sekali aku belum berani menyematkannya di sudut-sudut kosong di lemari dada. Aku belum yakin. Apalagi mengingat tanahku masih menggenang, baru saja banjir oleh lelaki bernama Sandal. Tentang sosoknya, tak perlu kuceritakan di sini. Kurasa tulisan-tulisan sebelumnya murni tentangnya yang kuistimewakan, sendirian. Intinya dia lelaki yang membuatku tak mau berhenti tersenyum dalam sebuah ingatan. 

Tanpa mau dianggap gila meski setiap saat aku terbahak sendirian saat mengingatnya. Sandal Oh Sandal.

Percaya atau tidak, saat menulis ini, di luar mendadak hujan. Spontan tanahku basah. Sebasah hati pertama yang masih berusaha kupegang erat: Al.

11 Juni 2014

Secangkir Coklat Surabaya.

0 komentar on "Hujan Tiga Rintik"

Posting Komentar


 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang