Kau tau kenapa turunnya air yang bersamaan dinamakan
hujan? Aku sendiri tak tau mengapa. Yang pasti, saat ada yang turun bersamaan,
kuberinama itu hujan.
Baiklah, lalu ini tentang cerita hujan. Bukan
dari langit, bukan dari hasil uap. Tapi ini murni beberapa hal yang mendadak
turun bersamaan. Entah darimana, tiba-tiba saja hatiku membasah.
Ya, ini tentang hujan. Tetesan bersamaan yang
turun berupa mata-mata menyenangkan. Aku akan menceritakan dari awal, sampai
klimaks yang akan membuatku tertawa terpingkal-pingkal.
Dari Hujan pertama:
Namanya Pablo. Lelaki realis dengan model
rambut tipis. Agak hitam tapi sangat manis. Sungguh. Dia manis. Sepanjang
hidup, hanya sekali aku melihatnya secara langsung. Itupun sudah beberapa tahun
yang lalu. Dan ada yang tak bisa dipungkiri dalam teks doa yang setiap malam
aku rapalkan. Aku menginginkan untuk menjumpainya kembali entah kapan. Dia
menemuiku saat dia dalam kekalutan besar. Saat benar-benar tak punya kekuatan.
Sebagai teman yang baik, aku berusaha menyihir diriku sedemikian rupa agar
tampak menyenangkan dan sedikit membuatnya merasa punya pegangan. Aku sok
bijak, sok sabar, sok baik dan sok-sok yang lain. Entah dengan cara apa dia
mulai menghargaiku dan tak sesederhana hanya mengakui keberadaanku sebagai
teman. Lebih dari itu. Tapi dasar dia si lelaki matang, caranya sungguh tak
pasaran. Beberapa kali aku hanya berani menyimpulkan, dengan pengamatan yang
bisa jadi itu fatal: Kurasa dia mulai menyukaiku. Bukan cinta. Sekedar suka.
Berulangkali dia bilang aku satu-satunya teman yang paling enak diajak bicara,
karena aku memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa, menurutnya. Soal
kekanakanku memang dia selalu mempermasalahkan, barangkali tak sesuai dengan
isi otaknya yang menurutku bisa bikin seseorang lebih tua dari biasanya. Tapi
secara keseluruhan, dia hanya tak punya cara mengungkapkan. Entah menunggu atau
memang tak ada sesuatu.
Hujan kedua:
Namanya Hati. Sebenarnya aku ragu dengan
penamaan itu. Tapi biarlah, sebagai anak Sastra Arab, aku gunakan sedikit
mufrodat yang sudah sejak SD Ibu guru ajarkan. Aku ambil dari nama aslinya lalu
kuterjemahkan. J Dia labih deras dari hujan pertama, entah wajah dan segala bentuk
perhatiannya. Tak cuma manis, yang ini sudah banyak diidolakan teman-teman sekampus
apalagi mahasiswa baru. Oh. Orangnya dingin. Tak punya selera humor yang
tinggi. Tapi enak diajak ngobrol. Aku kenal dia dari salah satu organisasi yang
aku geluti di fakultas. Sampai di tahun kedua, kita sama berada di dua
organisasi yang sama. Pernah sekali aku benar-benar jadi partner kerjanya. Dia
ketua, aku sekretarisnya. Mungkin dari sanalah cerita ini bermula. Pepatah lama
memang selalu benar adanya, bahwa rasa suka akan datang saat sudah sering bersama.
Kali ini aku berani mengiyakan. Karena sangat jelas dia menampakkan tanda-tanda
yang membuatku tak bisa tidur siang malam. Hingga pada suatu sore, “Musuhan itu
penting. Sebab aku selalu tegerak untuk memperhatikan setiap gerakmu. Dan itu
sekuat tenaga berusaha aku sangkal, tak boleh ada suatu hubungan dengan saudara
seatap”. Nah, aku sebagai perempuan biasa yang cenderung labil, mulai
memikirkan kata-katanya dengan matang. Lama kita tak saling sapa. Bertemupun
hanya sekedar nyubit, mandang dan mengacak kepala. Tak ada bahasa, lalu saling
pergi meninggalkan. Itu yang aku rasakan sangat menyulitkannya. Aku sementara
tidak masalah. Meski kutahu dia mati-matian tak mau menggubris perasaannnya
sendiri terhadapku. Kadang aku berpikir, perlukah aku keluar dari organisasi
untuk membuat hatinya lebih tenang dan nyaman? Tapi dasar dia bisa membaca
pikiranku, beberapa bulan kemudian, dia kembali mengakrabiku seperti semula.
Hingga sekarang, seperti ada suatu hal yang sama kita tahu, tanpa harus ada
yang memberitahu. Cukup saling merasakan. Ah.
Hujan ketiga, sementara untuk yang terakhir:
Namanya Puisi. Kenapa begitu? Dia penyair.
Pandai mengolah kata sampai aku serasa di surga. Semua orang taulah begaimana
aku sangat menghargai sebuah bahasa. Bagiku itu lebih jujur dari sebuah
kata-kata. Saat menemuiku pertama kali, persis seperti si hujan pertama: Dalam
kekalutan besar. Tpi ini beda, dia labih kekanakan. Oh iya, lupa aku
perkenalkan. Wajahnya kalem. Tidak begitu tinggi. Satu hal yang membuatku kadang geli
sendiri jika harus membayangkan dengannya: Dia putra sulung seorang Ustadzku di pondok dulu.
Dari sisi ini, kadang aku sedikit berharap lebih banyak. Tapi apalah arti
nasab. :D Dia orang yang jujur, mengaku masih juga mencintai perempuannya yang
pertama. Aku sih tak masalah. Kita jalani saja apa adanya. Sederhana. Yang
penting bisa saling bertukar bahagia.
Untuk ketiga hujan, aku bersyukur sama Tuhan.
Dulu kupikir tak akan pernah kutemukan makhluk-makhluk yang mau serius dan tak
main-main di depanku. Thank’s God. Tapi sama sekali aku belum berani
menyematkannya di sudut-sudut kosong di lemari dada. Aku belum yakin. Apalagi
mengingat tanahku masih menggenang, baru saja banjir oleh lelaki bernama
Sandal. Tentang sosoknya, tak perlu kuceritakan di sini. Kurasa tulisan-tulisan
sebelumnya murni tentangnya yang kuistimewakan, sendirian. Intinya dia lelaki
yang membuatku tak mau berhenti tersenyum dalam sebuah ingatan.
Tanpa mau
dianggap gila meski setiap saat aku terbahak sendirian saat mengingatnya.
Sandal Oh Sandal.
Percaya atau tidak, saat menulis ini, di luar
mendadak hujan. Spontan tanahku basah. Sebasah hati pertama yang masih berusaha
kupegang erat: Al.
11 Juni
2014
0 komentar:
Posting Komentar