Rabu, 12 Juni 2013

Kembali Ingin Menyapa Mentari--



Mengapa aku lupa kebiasaaanku sendiri. sudah sangat rentan kah ingatan ini hingga sesuatu yang paling indah pun aku tak ingat. Apa saja yang telah kulakukan hingga aku lupa rutinitasku. Betapa sangat pikunnya aku, aku sangat rindu dengan kebiasaanku yang mungkin aneh dan tidak hebat sama sekali. 

Dulu aku sering bercerita padanya, mengucapkan selamat pagi dan harapan baru kepada langit pagi. Dari bilik rumah selalu kusempatkan meliriknya, menyampaikan segala harapanku.

Ahh, warna pagi hari. Itu yang paling aku suka saat menikmati shubuh, saat matahari mulai mengintip bumi. Saat semua mata mulai terpicing dan menggeliat untuk menyimpan kekuatan melewati sehari yang pasti melelahkan. Aku sangat senang melewati pagi, saat rumput masih basah oleh embun. Menusuk kaki telanjang yang masih malas untuk menekan bumi. Saat udara begitu sejuk menusuk setiap pori kulit dan hawa itu aku sangat hafal, sepoinya membuatku merasa menjadi orang yang paling dekat dengan alam. 

Bercengkerama dengan mentari dan awan yang mulai ditinggal oleh kermerlip bintang. Dan bintang ufuk itu dua berjajar dengan cahaya yang tidak sama terang, selalu berdampingan dan menunggu hingga matahari benar-benar menjadi merah terang, sangat setia mereka mengikuti peredaran mentari.


Kuucapkan salam terhangat untuk matahari. Kuucapkan tanpa kata dan media. Hanya tersenyum dan memandangnya. Sungguh, sinarnya tidak menyakitkan. Aku ceritakan setiap detik semangat hidupku, tentang harapan yang tiada henti, tentang himpitan jiwa, hingga kutunjukkan betapa besarnya kekuatan hidupku. Aku katakan padanya, betapa aku ingin sepertinya. Berbagi dan terus dibutuhkan, selalu dinanti kehadirannya saat hujan mendera dan guntur menggempur bumi. Aku sangat iri pada matahari pagiku. Tetapi, aku juga sangat sayang padanya. Karena hampir dari separuh usiaku, kuhabiskan waktu shubuhku dengan berbicara dengannya. 

Saat siang menyengat kulitku. Tak sekalipun aku berniat menoleh padanya. Aku selalu berlindung dari satu pohon ke pohon yang lain. Mengharap setiap keteduhan dari rindangnya akasia dekat rumahku. Ya, akasia tempat yang terindah saat matahari mulai galak dan menjadi tidak hangat. Daun-daunnya selalu berguguran seakan brokoli besar itu tidak pernah kehabisan cadangan daun. Tidak peduli musim hujan maupun kemarau, tetap saja daunnya menggembung hijau. Matahari sulit menembus keramahan akasia dengan keangkuhan sinarnya karena akasia sangat bersahaja dan sederhana. Daunnya sangat menyejukkan dan tidak sombong. Tidak bermahkota tapi terlihat elegan, tidak berkayu besar seperti beringin.


Akasia sangat sederhana, bila sempat amatilah ia, meski hanya sekedar berteduh dan menikmati sepoinya di siang hari. Daun-daunnya yang berserakan mengotori halaman. Tapi bagiku. terlihat berserakan beraturan bertentangan dengan hijaunya daun muda yang bergerak kuat bertahan di tempa angin. Ya, semua berjalan berdampingan hingga menciptakan harmoni yang indah. Dari balik hijaunya akasia, mentari siang yang ganas menjadi lembut. Cahayanya menjadi keemasan dan berpendar. Ahh, indah sekali. Aku merasa mereka adalah para sahabat yang bisa mengartikan setiap pantulan jiwaku dengan suara alam yang hanya aku dan mereka yang mengerti artinya. Kita mempunyai bahasa sendiri, yang hanya kita sendiri  yang mengerti. Dan mungkin setiap orang yang melewati hari bersama mentari dan hijaunya akasia akan memiliki cerita berbeda. Aku menantinya di bawah akasia.

Kujadikan siangku bersamanya, saat bajuku masih berseragam. Saat itu imajiku sangat liar. Kubiarkan setiap gerak dan momentum hidupku berkelana bersama nyanyian mentari pagi dan gerakan akasia. Dan kini aku sangat rindu hari-hari itu. Mentari senja tampak anggun dengan lembayung berawan di ufuk barat. Nyanyian cenggeret masih lantang dulu. Anak-anak bermain layang-layang berlarian di sawah yang baru saja ditanami. Suara mereka lepas tanpa beban. Mengejar layangan putus dengan sekuat tenaga. Tidak berpikir untuk memperolehnya. Hanya senang saja berlarian bersama teman sebelum mandi di sungai dan pergi ke langgar untuk mengaji. Benang-benang dipersiapkan sejak siang tadi. Berharap layangan kesayangannya menjadi pemenang. Sungguh, bebas mereka dan terkendali dalam benang yang di ulur dan ditarik bersamaan. Dari bilikku, sepanjang hari kuamati banyak hal dan menghadirkan banyak cerita. matahari senja tak sesejuk mentari pagi. Nuansanya berbeda dan tawanya mengajak untuk bergegas beristirahat. Semakin ranum cahayanya, tawa anak-anak pun berlahan hilang. Teriakan mereka berangsur pudar kearah kamar mandi dan berganti dengan suara sumbang dari arah langgar kecil. Suara bacaan yang ramai tetapi setiap telinga mengenal suara-suara kecil itu bersumber. Tenangnya mentari senja.

Lampu-lampu rumah mulai menyala, menghadirkan pijar-pijar malam yang panjang. Waktunya merangkum cerita sepanjang hari yang dilalui bersama orang-orang terkasih. Bila, hati sedang tak enak, sudah cukup membuka jendela kamar dan melihat mentari hilang dari tiga perempat hingga benar-benar tak terlihat. Berubah seketika menjadi malam dengan pijar-pijar kecil bintang. 

Ahh, alam, betapa maha sempurnanya Allah. Rasanya, aku sudah sangat lama meninggalkan kebiasaanku. Kedewasaan membuatku menjadi jauh dengan senyum mentari. Bahkan aku sering gelisah bila mentari pagi mulai menyapa. Tak pernah sekalipun kusempatkan meski hanya untuk meliriknya. Mengapa peruabahan usia ini membuatku menjadi semakin keras saja. Mengapa waktu yang bergulir membuatku lupa akan banyak hal. Sudahkah kepala ini terlalu banyak terbebani oleh pikiran yang tidak baik hingga kepolosan itu berpendar dan bahkan terhilangkan. Aku sangat rindu masa itu. Tapi mentari terus mendorong waktu ke depan.

Aku hanya bisa melihat jejak kakiku saat senja datang. Jauh dari peta kehidupan yang kubuat saat dulu. Jika saja mentari tidak pernah seganas itu saat siang, jika saja kutemukan banyak akasia di setiap kali aku berjalan. Pasti aku akan sering berteduh di bawah gerombol daunnya. Tetapi, aku sudah tidak sering melihat akasia lagi. Atau memang aku sudah melupakannya. Aku sudah tidak ingat lagi, kapan aku mulai berhenti bercakap dengan akasia. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali kulihat mentari pagi tersenyum padaku. Aku sibuk dengan hidup dan diriku. Senja ini aku duduk berhadapan dengannya. Di tempat yang jauh berbeda. Bukan, kamarku yang biasa dulu aku mengintip anak-anak bermain layang-layang.

Aku terduduk di sungai di tengah pematang. Meski, berbeda nuansa ini, tetapi matahari itu masih sama. Meski sekarang, kurasakan ia lebih lama berpijar. Tetapi, sejuknya dan lembutnya senja itu masih sama. Setelah, lama berdiam dan hanya memandangnya. Aku tahu, telah jauh aku dari diriku di waktu yang dulu. Waktu yang bergulir bersama mentari telah menyimpan jejak-jejakku dalam memorinya. Tinggal kubuka dan kubaca. 

Tak terasa air mataku meleleh. Betapa panjang waktu yang kulalui. Betapa banyak aku menjadi manusia yang sangat keras kala mentari siang memanasi bumi. Mengapa saat siang itu aku lupa pada akasia, aku lupa senja mampu menghapus duka. Hanya cukup dengan sejenak waktu berbagi, bahkan untuk berbagipun aku tidak cukup ikhlas. Kini aku cukup mengerti mengapa sebabnya aku sangat iri padamu mentari pagi. Cahayamu mencapai sekalian alam. Membuatku tersadar, aku bukanlah siapa-siapa. Senja ini, untuk pertama kali setelah sekian lama aku melewatkanmu. Diantara gedung tinggi, tumpukan buku dan panjangnya diskusi. Kusempatkan menyapamu lagi…dan kukatakan padamu, masihkah kau ingat pada sahabat lamamu mentari? Aku ingin bercerita lagi seperti dulu. Mengamati kisah pagi dan berbagi saat senja.

*Entah apa yg bisa kubagi untuk kalian melalui cerita ini, tapi yang pasti : tetaplah berbagi tanpa peduli siapa dan bagaimana orang yg kita bagi, karena berbagi itu indah-

Selasa, 11 Juni 2013

------> Ini sEpotoNg hAtiKu--

Nufa La'la'

Huft,, aku cukup lelah. sedari tadi berlarian mencari bongkahan-bongkahan hati yang tercecer. seluruh jalanan lengang sudah berhasil kutelusuri. Barangkali ada serpihan hatiku yang masih tertinggal. Sebelum disapu tukang sampah esok hari. Masuk ke tong sampah, di daur ulang, ah, remuk tentunya hatiku.. Maka kembali kucoba merakit semangat, tetap mencarinya-

Belum seberapa kepingan-kepingan yang kutemukan. yakinku masih banyak yang belum kudapat. Aku harus bisa mengumpulkannya sebelum hari benar-benar sore. Sebab malam nanti aku ada janji menemuimu, menunjukkan hatiku yang baru untuk kuberikan padamu- Ingin ku design seapik mungkin . Sebagai hadiah ulang tahunmu--

Eits, tunggu! sebelum menemaniku bercerita, mari temani aku mencari sisa-sisa hatiku yang hilang- Sebab beberapa hari lalu, hatiku sempat terjatuh, saat kumembawanya berlari- Hatiku pecah tak karuan,, sekarang kumencoba menatanya kembali. sebab menggantinya itu tak mungkin,, Aku belum cukup punya uang banyak untuk membelinya yang baru- Biarlah, kuperbaiki saja yang sudah kumiliki.. barangkali masih bisa tampak cantik setelah kuperbaiki nanti. Tapi masalahnya sekarang kepingan-kepingan hatiku belum lengkap.. huh-

Oh itu dia,, tergeletak kaku di bawah ranting akasia yang terjatuh- berlari kumenghampiri.. mengangkatnya pelan, kutumpuk bersama kepingan-kepingan yang lain- Yeah, sepertinya tinggal sedikit lagi yang masih belum kutemukan. Mari bantu aku mencari kembali- Tapi apakah tidak sebaiknya kususun saja yang sudah kudapat? bukankah nanti akan memudahkanku seberapa banyak yang harus kucari jika tidak lengkap? yah, aku akan menatanya terlebih dahulu-

Sesekali kumenyeka keringat dan debu di wajahku- Semua kepingan itu telah berhasil kususun. tapi... sepertinya ada satu bagian yang belum lengkap. Tampak tak sempurna di salah satu sudutnya- Ah, aku harus mencarinya kembali.. Tapi hari sudah mulai disapa senja. Apa tidak sebaiknya aku pulang saja? Sebenarnya aku belum benar-benar yakin, kekurangan itu memang asli dari bentuk asalnya atau memang karena terjatuh kemaren. Sebab aku tak pernah tahu bentuk aslinya, kemaren aku mendapatkannya dalam keadaan terbungkus dari Sang Maha Pemberi- Ah, mungkin hati yang kumiliki memang sedemikian bentuknya, lebih baik aku pulang saja, barangkali kau mau datang sebentar lagi..

Di Rumah:
Rumahku tampak sepi. tak ada tanda-tanda Ayah maupun Ibu di dalamnya. Duh, Ibu kemana? padahal aku ingin memintanya untuk membantuku membuat hati yang akan kuhadiahkan padamu seapik mungkin. Ibuku perempuan hebat. jangankan membuat hatiku menjadi indah, mengindahkan hal-hal yang belum pernah terciptapun aku yakin Ibu pasti bisa- 

Tapi sekarang Ibu tak di rumah? Aku melihat sepotong hati yang kususun susah payah dari tadi. Rasanya kau tak akan bahagia dengan pemberianku.. Ah, tapi mau gimana lagi? Belum sampai kuberanjak dari kebingunganku, tiba-tiba..

"Tok.. tok.. tok.."
Astaga, sepertinya kamu sudah datang, aduh- aku harus bagaimana?
KUberanikan diri membuka pintu, Uh, benar kamu. Bibirku kelu.. Tak mampu berucap, apapun-
Kau tersenyum menatapku, Ah Tuhan.. tak tega kiranya jika harus membuat senyum itu sirna sebentar lagi-

"Ini harimu, Selamat Ulang tahun Al-" Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulutku-

"Makasih sayang-" sambil mencium keningku.. Kau sosok yang benar-benar Arif  dan Bijaksana kurasa-
Aku menunduk, meneteskan air mata, tak tega memberikanmu hadiah semacam itu- Hatiku sudah kusut, tak sempurna pula.. huhu- Aku ingin menangis. Tapi tidak, tak baik membuat orang lain tahu luka kita, begitu ucap sahabatku-

Dalam posisi tetap menunduk, aku memberikan bungkusan kadoku yang berisi sepotong hati yang sangat amburadul-

"Ini.."

kau tampak membukanya, ,

Aku tak berani mendongak, air mataku masih saja menetes..

"Maaf Al, tak bisa menghadiahkan hati yang sempurna untukmu-" aku tersedu..

Kau tiba-tiba memedang pundakku, memelukku. erat.. KU dengar kau berbisik..

"Aku tak butuh hatimu yang sempurna sayang, Yang kumilikipun tak sempurna, Atau bahkan lebih buruk yang kau punya, bahagiaku sederhana Sayang.. cukup kau mengizinkanku memilikinya-"


Duh Tuhan,,
Air mataku kembali mendesak. Kali ini kurasa berbeda. Lega-


*Hanya itu dariku--
*Al-

Minggu, 09 Juni 2013

pEngarAng dan SecaNgkir KoPi-----





Kadang aku berharap, dapat menjadi seorang pengarang. Mengetahui apa isi hati seseorang, tanpa perlu menebak, dan…salah. Enaknya jadi pengarang, aku bisa dengan bebas menentukan, nanti mereka jadian atau pisah, atau kubuat dulu mereka menderita dalam ketidaktahuan.
                                                                        *****
Bukan begitu. Kurasa begini-

Aku terus menatap keluar dinding kaca kafe. Secangkir kopi di atas meja mulai mendingin tak disentuh. Sekali lagi aku mengembuskan napas panjang. Seharusnya aku tak kesini, seharusnya aku tak mengajakmu untuk bertemu disini, seharusnya aku tak menyetujui kau menunggu.

Mungkin inilah yang disebut pertemuan terlarang. Aku yang belum punya SIM (Surat Izin Menemui) tetapi masih saja menemuimu.Tapi aku tak bisa menyangkal bahwa hatiku bersorak gembira saat kau mengajakku bertemu. Ya. Aku merindukanmu selama ini. Dan kau tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang yang seharusnya tidak boleh dirindukan? Rasanya menyesakkan.

Ah, bukan juga begini. Terlalu cemen dan rewel. Tapi tak apalah, mari dengarkan lanjutannya-

“Hai! Sudah lama? Maaf ya tadi ada sedikit urusan mendesak.” Katanya santai sambil duduk di hadapanku.

Aku menatapmu lekat, meyakinkan diriku bahwa sosok yang saat ini dihadapanku adalah benar dirimu.  Berusaha mencocokkan wajah yang kali ini di depanku dengan beberapa foto yang sering tergeletak di mejaku..

“Hei, kau memesan kopi? Bukankah kau tidak suka kopi sama sekali?” Tanyanya heran.

“Aku hanya ingin memesannya, rasanya menyenangkan menatap secangkir kopi hitam..”Kataku sambil memainkan cangkir kopiku. “kita seperti kopi hitam dalam gelas, ia mengendap. Tak terlihat, namun ada”.
Kau tertegun menatapku.

“Masih adakah kopi dalam gelas itu sekarang?” Tanyaku.

Ehm, kurasa begitu. Cukup akan membuatku tersipu jika wajah itu benar-benar menatapku.. 

yah, begini. Kenapa aku ingin jadi pengarang. Agar aku bisa dengan bebas menjadikannya tokoh utama dalam setiap cerita-ceritaku.

Ini cerita karanganku. Entah salah atau tidak  jika kukarang begitu dan berharap menjadikannya nyata dalam kehidupan si tokoh “aku”-

Rabu, 05 Juni 2013

bElum SeLEsaI



Layaknya sopir Bus, tak tau kapan harus berhenti karena teriakan “stop” dari para penumpang dan kapan tancapkan gas kembali saat bermenit-menit menunggu penuhnya kursi oleh penumpang. Aku pun begitu, setidaknya untuk kali ini, tak tau cara memulai dan tak mampu berhenti. Namun ada banyak hal yang berlari-lari di otakku, mengejar kenangan yang menjadi bahan tulisan. Sebab aku sudah terlalu jumud dengan tulisan-tulisan penuh tata cara dan kode etik. Bulshit! Semuanya kini penuh kode etik, tak ada kepercayaan sedikitpun. Dunia kampusku saja, menyediakan kode etik yang tak kalah banyak dengan jumlah huruf hijaiyah. Ah, aku benar-benar jenuh dengan semua yang penuh aturan. Aku ingin sesekali menjadi diri sendiri, dengan peraturan-peraturanku sendiri, tapi pastinya dengan Allahku.
Oh, ya.. lupa kuperkenalkan. Aku gadis desa yang terobsesi jadi penulis. Entah sejak kapan aku menyukai dan menekuninya. Seingatku, sejak pertama mengenal eskrim dari orang tuaku, aku buru-buru lari ke kamar, ingin menarasikan “hore”ku pada setiap barisnya. Aku dulu paling suka menumpuk buku catatan untuk kutulis. Dalam seminggu, aku pasti menghasilkan tujuh tulisan. Tulisan-tulisanku ada di setiap hariku.. Dan aku paling suka mengumpulkan jenis-jenis buku harian yang designnya cantik.
Tapi itu dulu.. Semenjak memiliki seragam putih-donker dan putih abu-abu, aku malas membeli kertas. Merogoh kantongpun sepertinya hanya benang jahitan yang kudapat.  Aku lebih suka meminjam kertas anti-kusut di kantor OSIS atau bahkan di kantor karyawan magang calon Penulis semasa SMA dulu.
Hal yang paling tidak ingin kuselingkuhi adalah saat aku menutup telinga dengan earphone, mendengarkan musik  nuansa Pop atau bahkan lagu-lagu daerah yang paling nenek gandrungi.

Senin, 03 Juni 2013

SAAT INI KAMU..



Kudengar suaramu parau..
“Kau sakit Al?”
“aku baik-baik saja sayang..”
Ah, kau masih sempat berbohong dengan keadaanmu. Kau pikir aku seseorang yang baru mengenalmu sejam yang lalu?  Sehingga untuk perubahan suaramupun aku tak tahu? Dasar kau, terlalu remeh menganggapku. Bahkan saat aku lupa menyalakan radar software, aku akan selalu bertemu dengan jalanmu bebohong.. Dan caramu berbohong hampir sama dengan perempuan yang sedang berusaha kuat dan tak mau dibilang cengeng. Selalu berusaha menampakkan keadaan baik-baik saja-
Saat ini aku ingin terbang bersama kemurnian fikiran dan kebaikan prasangka. Kau begitu, sebab kau mengerti, aku tak akan baik mendengar keadaanmu tak baik.. kau tak mau sendi-sendi di sekitar bibirku menegang dan tak mau melengkung. Bahkan di tengah keadaanmu begini, kau rela bercerita panjang lebar agar semuanya tampak seperti baik-baik saja.. Tentang ketangguhan Ayahmu yang jarang sakit, tentang semua keluargamu saat ini yang sedang menjadi korban pancaroba, bahkan sampai pada cerita menggelikan dari keponakanmu, Aim.
Yang terakhir ini, aku cukup tertarik, bahkan membuatku terpingkal. Yah, si Aim.. bagaimana ia meneriakkan rasa hore nya saat kau kembali pulang, sebab belakangan ini kau jarang pulang, kau terlalu disayang pengasuhmu, mungkin.. haha. Sambil meneriakkan “Om, kellong……..” Ah, Aim, aku tak pernah tau sebagaimana lucunya kamu. Tapi dalam benakku, kau seperti malaikat kecil yang selalu mencipta senyum dan patut mendapat senyum-
Kembali lagi di KAMU..
Sekali lagi kuyakinkan, saat ini kau dalam keadaan tak baik, aku tahu itu., suaramu tak mampu mengundang kenakalanku untuk mengejeknya.. Dan aku tidak bias memamerkan suaraku kembali, cukup mengerti dan memperhatikanmu saat ini. Sebab hati ya tetap hati. Milik Lelaki ataupun perempuan, tetap butuh perhatian. Right?
Kau terdengar lama tak bersuara, diam. Sepi.
Nafasmu semakin memburu, mungkin kau tertidur kupikir-
Untuk malam ini, aku ingin menemani, saat kau tak mau sepi..
Selamat tidur sayang..

*teringat candamu sebelum aku terlelap:
Nina bobo.. oh Nina bobo..
Kalau tidak bobo, aku yang bobo.. haha-
Sungguh aku mau bersama rindu ini, sampai bumi berhenti mengembun-

 #Al-

Sabtu, 01 Juni 2013

Mimpi Itu............

            
            

            
            Apa yang kau tahu tentang mimpi?
            Sesuatu yang hadir di tengah lelap,atau yang ingin kau hadirkan setelah lelah?
            Ah, persetan dengan arti kata “mimpi”.Yang ku tahu, semalam aku bermimpi, dan selalu akan menjadi mimpi.

Begini:
Hujan lebat yang telah setengah hari turun tak juga tampakkan tanda-tanda mau berhenti. Malah makin menjadi-jadi. Di luar angin menerpa. Mendesak. Semangkuk bubur kacang ijo yang panas mengepul baru saja mengisi perut. Namun tetap saja takmampu mengusir angin dingin yang menerobos masuk ke ruang tamu.

Lebih baik menyembunyikan diri dalam rumah saat hujan begini, lebih hangat kurasa.Sebab aku tak suka hujan. Meski menurut seseorang yang sedang terlelap di atasranjangku, hujan akan selalu mengabadikan setiap cerita kita tanpa bisa dilirik orang. Dia akan selalu mengajakku menulis cerita di bawah hujan. Namun sampai saat ini, belum sempat kupenuhiu permintannya..

Saat ini pikiranku seperti kuda liar yang lepas kendali. Berlari di padang rumput tak bertepi. Seperti burung camar yang terbang bebas di atas laut lepas, dilangit luas. Meraambah kemana-mana. Mengenai segala apapun. Aku sungguh merasakan kenikmatan yang lain dari biasanya. Entah..

“kreng..krang.. kreng.. krang..” suara singkup yang menggesek-gesek semen buyarkan lamunanku. Kurang ajar kupikir, di hari hujan lebat dan angin dingin yangmenusuk ini, berani menggangguku. Siapa pula yang masih berani keluar rumahuntuk berkatifitas.  Aku menggerutu.

Tapi tunggu, aku seperti mengenal dua sosok yang sedang berada di ujung halam rumah.Tapi siapa? Aku terpaksa bangun dari kursi malas, memandang ke luar melaluijeruji besi jendela, berharap  dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang beraktifitas di halaman rumahku..

Sekali lagi kumenyeka mata, ah, mulai kulihat samar-samar. Rupanya si Ra dan Ree.. Pasangan pemilik rumah sebelah. Ree sahabatku, dan si Ra sahabat seseorang yang masihpulas di atas ranjang. Kita berinisiatif untuk hidup bersama di negeri rantau ini. Berempat. Gila..

Tapi mereka sedang apa? Kulihat sebuah gerobak dorong berisi sampah di sampingmereka. Oh, rupanya mereka sedang bersih-bersih halaman. Bagus juga., tapidasar kau Ree, kau akan selalu menggunakan waktumu untuk apapun di bawah hujan,sebab kau suka hujan. Perbandingan seratus delapanpuluh derajat dariku.. tapiaku menyayanginya, dia sahabatku..

Sesekali kulihat Ra mengelus kepala Ree, tawa kecil hadir di tengah mereka. Aku memandang cemburu..

Tiba-tiba ada yang melingkarkan tangan di tubuhku, memelukku. Al, seseorang yang kukenal dengan sebuah ketidaksengajaan. Tapi akhirnya aku jatuhkan pilihan di dirinya.

“kau terbangun sayang?”

“kau tak pernah suka hujan, tapi mari bantu aku menulis cerita di bawah hujan, kali ini saja..” seakan paham dengan kecemburuanku pada mereka..

Aku tak punya pilihan selain mengikutinya. Membiarkan tanganku digenggamnya ke bawah hujan. Namun belum sempat lepas dari teras rumah, dia membalikkan badan,mengambil sebuah sabit di bawah meja. Mungkin dia akan menyabit rumput dihalaman, mengimbangi mereka yang memungut sampah. Lalu kembali membawakuberlari, kali ini benar di bawah hujan. Aku menghentikan langkahku,,

“Al,aku benci hujan”

Kembali tak menghiraukan ucapku, dia kembali membawaku berlari.

Kudengar Ra berteriak: “Al, kemarilah!”

Kita mendekati mereka. Keningku masih mengkerut, bibirku masih manyun,,

“Rainy,aku tak suka hujan” kembali kumerengek pada Ree.

“Hanya karena kau tak pernah mengenalnya Rainbow,,” balas Ree.

Sesaat kemudian, Ree membalikkan badan, menghadap Ra. Ra mengecup keningnya. Tersenyumsebentar. Lalu kembali memunguti sampah-sampah yang ada.

Ah,mereka bahagia kurasa.

Kulihat Al jongkok, mulai menyabit rumput yang mulai tak nyaman dipandang.  Tak sampai hati membiarkannya sendirian menyabit rumput, akupun jongkok, berniat mencabut rumput dengan tanganku, sebabaku tak membawa sabit seperti yang sedang Al gunakan. Al menatapku, tersenyum.Tuhan, seketika semuanya berubah, manyun bibirku seakan tersihir menjadi sebuahsenyuman. Tanpa susah payah ku menggerakkan otot-otot di sekitar bibirku. Aku tersenyum,yes! Aku mencipta senyum, setidaknya itu sulit kulakukan di bawah hujan. Kecuali saat ini. Dan akupun sadar, ternyata bahagiaku sederhana Tuhan, cukup melihatnya tersenyum. Kali ini aku benar-benar bahagia-

Tuhan,kurasa kami berempat sedang melakukan tugas mulia. Berusaha memperbaiki satu sama lain. Bersama. Menjadikan rumah singgah kita menjadi yang terindah dari rumput tetangga. Dan kita tak cukup hanya sampai detik ini, sebab rumput dan sampattak kan pernah berhenti datang. Maka kita butuh perbaikan dan kebersamaan yang terus-menerus. Sebelum akhirnya benar-benar indah dan membuat cemburu yang melirik..
Aku menutup mata, menghadapkan muka ke langit, bentangkan kedua tangan, menarik napas dalam, marasakan kasih sayang  Tuhan yang teramat. Tuhan, aku ingin berbisik: “Aku tak kan pernah suka hujan, tapi aku bisa bahagia di bawah hujan.”

Tiba-tiba kudengar Ra berteriak: “Ree………….”

Si Al pun tak mau kalah, dia ikut nimbrung: “Fa…………..”

Mereka saling pandang, tertawa.

Ree mendekatiku, tersenyum dan berkata: “Tuhan menghadirkan lelaki hebat untuk kita”

“terimakasihTuhan..” lanjutku.

Hujan masih tercurah, seakan mengerti dengan bahagia ini. Dan tak ingin semuanya menghilang bersama redanya.. Tuhan, Aku bahagia…

Rabu, 12 Juni 2013

Kembali Ingin Menyapa Mentari--

Diposting oleh Unknown di 20.26 0 komentar


Mengapa aku lupa kebiasaaanku sendiri. sudah sangat rentan kah ingatan ini hingga sesuatu yang paling indah pun aku tak ingat. Apa saja yang telah kulakukan hingga aku lupa rutinitasku. Betapa sangat pikunnya aku, aku sangat rindu dengan kebiasaanku yang mungkin aneh dan tidak hebat sama sekali. 

Dulu aku sering bercerita padanya, mengucapkan selamat pagi dan harapan baru kepada langit pagi. Dari bilik rumah selalu kusempatkan meliriknya, menyampaikan segala harapanku.

Ahh, warna pagi hari. Itu yang paling aku suka saat menikmati shubuh, saat matahari mulai mengintip bumi. Saat semua mata mulai terpicing dan menggeliat untuk menyimpan kekuatan melewati sehari yang pasti melelahkan. Aku sangat senang melewati pagi, saat rumput masih basah oleh embun. Menusuk kaki telanjang yang masih malas untuk menekan bumi. Saat udara begitu sejuk menusuk setiap pori kulit dan hawa itu aku sangat hafal, sepoinya membuatku merasa menjadi orang yang paling dekat dengan alam. 

Bercengkerama dengan mentari dan awan yang mulai ditinggal oleh kermerlip bintang. Dan bintang ufuk itu dua berjajar dengan cahaya yang tidak sama terang, selalu berdampingan dan menunggu hingga matahari benar-benar menjadi merah terang, sangat setia mereka mengikuti peredaran mentari.


Kuucapkan salam terhangat untuk matahari. Kuucapkan tanpa kata dan media. Hanya tersenyum dan memandangnya. Sungguh, sinarnya tidak menyakitkan. Aku ceritakan setiap detik semangat hidupku, tentang harapan yang tiada henti, tentang himpitan jiwa, hingga kutunjukkan betapa besarnya kekuatan hidupku. Aku katakan padanya, betapa aku ingin sepertinya. Berbagi dan terus dibutuhkan, selalu dinanti kehadirannya saat hujan mendera dan guntur menggempur bumi. Aku sangat iri pada matahari pagiku. Tetapi, aku juga sangat sayang padanya. Karena hampir dari separuh usiaku, kuhabiskan waktu shubuhku dengan berbicara dengannya. 

Saat siang menyengat kulitku. Tak sekalipun aku berniat menoleh padanya. Aku selalu berlindung dari satu pohon ke pohon yang lain. Mengharap setiap keteduhan dari rindangnya akasia dekat rumahku. Ya, akasia tempat yang terindah saat matahari mulai galak dan menjadi tidak hangat. Daun-daunnya selalu berguguran seakan brokoli besar itu tidak pernah kehabisan cadangan daun. Tidak peduli musim hujan maupun kemarau, tetap saja daunnya menggembung hijau. Matahari sulit menembus keramahan akasia dengan keangkuhan sinarnya karena akasia sangat bersahaja dan sederhana. Daunnya sangat menyejukkan dan tidak sombong. Tidak bermahkota tapi terlihat elegan, tidak berkayu besar seperti beringin.


Akasia sangat sederhana, bila sempat amatilah ia, meski hanya sekedar berteduh dan menikmati sepoinya di siang hari. Daun-daunnya yang berserakan mengotori halaman. Tapi bagiku. terlihat berserakan beraturan bertentangan dengan hijaunya daun muda yang bergerak kuat bertahan di tempa angin. Ya, semua berjalan berdampingan hingga menciptakan harmoni yang indah. Dari balik hijaunya akasia, mentari siang yang ganas menjadi lembut. Cahayanya menjadi keemasan dan berpendar. Ahh, indah sekali. Aku merasa mereka adalah para sahabat yang bisa mengartikan setiap pantulan jiwaku dengan suara alam yang hanya aku dan mereka yang mengerti artinya. Kita mempunyai bahasa sendiri, yang hanya kita sendiri  yang mengerti. Dan mungkin setiap orang yang melewati hari bersama mentari dan hijaunya akasia akan memiliki cerita berbeda. Aku menantinya di bawah akasia.

Kujadikan siangku bersamanya, saat bajuku masih berseragam. Saat itu imajiku sangat liar. Kubiarkan setiap gerak dan momentum hidupku berkelana bersama nyanyian mentari pagi dan gerakan akasia. Dan kini aku sangat rindu hari-hari itu. Mentari senja tampak anggun dengan lembayung berawan di ufuk barat. Nyanyian cenggeret masih lantang dulu. Anak-anak bermain layang-layang berlarian di sawah yang baru saja ditanami. Suara mereka lepas tanpa beban. Mengejar layangan putus dengan sekuat tenaga. Tidak berpikir untuk memperolehnya. Hanya senang saja berlarian bersama teman sebelum mandi di sungai dan pergi ke langgar untuk mengaji. Benang-benang dipersiapkan sejak siang tadi. Berharap layangan kesayangannya menjadi pemenang. Sungguh, bebas mereka dan terkendali dalam benang yang di ulur dan ditarik bersamaan. Dari bilikku, sepanjang hari kuamati banyak hal dan menghadirkan banyak cerita. matahari senja tak sesejuk mentari pagi. Nuansanya berbeda dan tawanya mengajak untuk bergegas beristirahat. Semakin ranum cahayanya, tawa anak-anak pun berlahan hilang. Teriakan mereka berangsur pudar kearah kamar mandi dan berganti dengan suara sumbang dari arah langgar kecil. Suara bacaan yang ramai tetapi setiap telinga mengenal suara-suara kecil itu bersumber. Tenangnya mentari senja.

Lampu-lampu rumah mulai menyala, menghadirkan pijar-pijar malam yang panjang. Waktunya merangkum cerita sepanjang hari yang dilalui bersama orang-orang terkasih. Bila, hati sedang tak enak, sudah cukup membuka jendela kamar dan melihat mentari hilang dari tiga perempat hingga benar-benar tak terlihat. Berubah seketika menjadi malam dengan pijar-pijar kecil bintang. 

Ahh, alam, betapa maha sempurnanya Allah. Rasanya, aku sudah sangat lama meninggalkan kebiasaanku. Kedewasaan membuatku menjadi jauh dengan senyum mentari. Bahkan aku sering gelisah bila mentari pagi mulai menyapa. Tak pernah sekalipun kusempatkan meski hanya untuk meliriknya. Mengapa peruabahan usia ini membuatku menjadi semakin keras saja. Mengapa waktu yang bergulir membuatku lupa akan banyak hal. Sudahkah kepala ini terlalu banyak terbebani oleh pikiran yang tidak baik hingga kepolosan itu berpendar dan bahkan terhilangkan. Aku sangat rindu masa itu. Tapi mentari terus mendorong waktu ke depan.

Aku hanya bisa melihat jejak kakiku saat senja datang. Jauh dari peta kehidupan yang kubuat saat dulu. Jika saja mentari tidak pernah seganas itu saat siang, jika saja kutemukan banyak akasia di setiap kali aku berjalan. Pasti aku akan sering berteduh di bawah gerombol daunnya. Tetapi, aku sudah tidak sering melihat akasia lagi. Atau memang aku sudah melupakannya. Aku sudah tidak ingat lagi, kapan aku mulai berhenti bercakap dengan akasia. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali kulihat mentari pagi tersenyum padaku. Aku sibuk dengan hidup dan diriku. Senja ini aku duduk berhadapan dengannya. Di tempat yang jauh berbeda. Bukan, kamarku yang biasa dulu aku mengintip anak-anak bermain layang-layang.

Aku terduduk di sungai di tengah pematang. Meski, berbeda nuansa ini, tetapi matahari itu masih sama. Meski sekarang, kurasakan ia lebih lama berpijar. Tetapi, sejuknya dan lembutnya senja itu masih sama. Setelah, lama berdiam dan hanya memandangnya. Aku tahu, telah jauh aku dari diriku di waktu yang dulu. Waktu yang bergulir bersama mentari telah menyimpan jejak-jejakku dalam memorinya. Tinggal kubuka dan kubaca. 

Tak terasa air mataku meleleh. Betapa panjang waktu yang kulalui. Betapa banyak aku menjadi manusia yang sangat keras kala mentari siang memanasi bumi. Mengapa saat siang itu aku lupa pada akasia, aku lupa senja mampu menghapus duka. Hanya cukup dengan sejenak waktu berbagi, bahkan untuk berbagipun aku tidak cukup ikhlas. Kini aku cukup mengerti mengapa sebabnya aku sangat iri padamu mentari pagi. Cahayamu mencapai sekalian alam. Membuatku tersadar, aku bukanlah siapa-siapa. Senja ini, untuk pertama kali setelah sekian lama aku melewatkanmu. Diantara gedung tinggi, tumpukan buku dan panjangnya diskusi. Kusempatkan menyapamu lagi…dan kukatakan padamu, masihkah kau ingat pada sahabat lamamu mentari? Aku ingin bercerita lagi seperti dulu. Mengamati kisah pagi dan berbagi saat senja.

*Entah apa yg bisa kubagi untuk kalian melalui cerita ini, tapi yang pasti : tetaplah berbagi tanpa peduli siapa dan bagaimana orang yg kita bagi, karena berbagi itu indah-

Selasa, 11 Juni 2013

------> Ini sEpotoNg hAtiKu--

Diposting oleh Unknown di 22.22 0 komentar
Nufa La'la'

Huft,, aku cukup lelah. sedari tadi berlarian mencari bongkahan-bongkahan hati yang tercecer. seluruh jalanan lengang sudah berhasil kutelusuri. Barangkali ada serpihan hatiku yang masih tertinggal. Sebelum disapu tukang sampah esok hari. Masuk ke tong sampah, di daur ulang, ah, remuk tentunya hatiku.. Maka kembali kucoba merakit semangat, tetap mencarinya-

Belum seberapa kepingan-kepingan yang kutemukan. yakinku masih banyak yang belum kudapat. Aku harus bisa mengumpulkannya sebelum hari benar-benar sore. Sebab malam nanti aku ada janji menemuimu, menunjukkan hatiku yang baru untuk kuberikan padamu- Ingin ku design seapik mungkin . Sebagai hadiah ulang tahunmu--

Eits, tunggu! sebelum menemaniku bercerita, mari temani aku mencari sisa-sisa hatiku yang hilang- Sebab beberapa hari lalu, hatiku sempat terjatuh, saat kumembawanya berlari- Hatiku pecah tak karuan,, sekarang kumencoba menatanya kembali. sebab menggantinya itu tak mungkin,, Aku belum cukup punya uang banyak untuk membelinya yang baru- Biarlah, kuperbaiki saja yang sudah kumiliki.. barangkali masih bisa tampak cantik setelah kuperbaiki nanti. Tapi masalahnya sekarang kepingan-kepingan hatiku belum lengkap.. huh-

Oh itu dia,, tergeletak kaku di bawah ranting akasia yang terjatuh- berlari kumenghampiri.. mengangkatnya pelan, kutumpuk bersama kepingan-kepingan yang lain- Yeah, sepertinya tinggal sedikit lagi yang masih belum kutemukan. Mari bantu aku mencari kembali- Tapi apakah tidak sebaiknya kususun saja yang sudah kudapat? bukankah nanti akan memudahkanku seberapa banyak yang harus kucari jika tidak lengkap? yah, aku akan menatanya terlebih dahulu-

Sesekali kumenyeka keringat dan debu di wajahku- Semua kepingan itu telah berhasil kususun. tapi... sepertinya ada satu bagian yang belum lengkap. Tampak tak sempurna di salah satu sudutnya- Ah, aku harus mencarinya kembali.. Tapi hari sudah mulai disapa senja. Apa tidak sebaiknya aku pulang saja? Sebenarnya aku belum benar-benar yakin, kekurangan itu memang asli dari bentuk asalnya atau memang karena terjatuh kemaren. Sebab aku tak pernah tahu bentuk aslinya, kemaren aku mendapatkannya dalam keadaan terbungkus dari Sang Maha Pemberi- Ah, mungkin hati yang kumiliki memang sedemikian bentuknya, lebih baik aku pulang saja, barangkali kau mau datang sebentar lagi..

Di Rumah:
Rumahku tampak sepi. tak ada tanda-tanda Ayah maupun Ibu di dalamnya. Duh, Ibu kemana? padahal aku ingin memintanya untuk membantuku membuat hati yang akan kuhadiahkan padamu seapik mungkin. Ibuku perempuan hebat. jangankan membuat hatiku menjadi indah, mengindahkan hal-hal yang belum pernah terciptapun aku yakin Ibu pasti bisa- 

Tapi sekarang Ibu tak di rumah? Aku melihat sepotong hati yang kususun susah payah dari tadi. Rasanya kau tak akan bahagia dengan pemberianku.. Ah, tapi mau gimana lagi? Belum sampai kuberanjak dari kebingunganku, tiba-tiba..

"Tok.. tok.. tok.."
Astaga, sepertinya kamu sudah datang, aduh- aku harus bagaimana?
KUberanikan diri membuka pintu, Uh, benar kamu. Bibirku kelu.. Tak mampu berucap, apapun-
Kau tersenyum menatapku, Ah Tuhan.. tak tega kiranya jika harus membuat senyum itu sirna sebentar lagi-

"Ini harimu, Selamat Ulang tahun Al-" Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulutku-

"Makasih sayang-" sambil mencium keningku.. Kau sosok yang benar-benar Arif  dan Bijaksana kurasa-
Aku menunduk, meneteskan air mata, tak tega memberikanmu hadiah semacam itu- Hatiku sudah kusut, tak sempurna pula.. huhu- Aku ingin menangis. Tapi tidak, tak baik membuat orang lain tahu luka kita, begitu ucap sahabatku-

Dalam posisi tetap menunduk, aku memberikan bungkusan kadoku yang berisi sepotong hati yang sangat amburadul-

"Ini.."

kau tampak membukanya, ,

Aku tak berani mendongak, air mataku masih saja menetes..

"Maaf Al, tak bisa menghadiahkan hati yang sempurna untukmu-" aku tersedu..

Kau tiba-tiba memedang pundakku, memelukku. erat.. KU dengar kau berbisik..

"Aku tak butuh hatimu yang sempurna sayang, Yang kumilikipun tak sempurna, Atau bahkan lebih buruk yang kau punya, bahagiaku sederhana Sayang.. cukup kau mengizinkanku memilikinya-"


Duh Tuhan,,
Air mataku kembali mendesak. Kali ini kurasa berbeda. Lega-


*Hanya itu dariku--
*Al-

Minggu, 09 Juni 2013

pEngarAng dan SecaNgkir KoPi-----

Diposting oleh Unknown di 20.25 0 komentar




Kadang aku berharap, dapat menjadi seorang pengarang. Mengetahui apa isi hati seseorang, tanpa perlu menebak, dan…salah. Enaknya jadi pengarang, aku bisa dengan bebas menentukan, nanti mereka jadian atau pisah, atau kubuat dulu mereka menderita dalam ketidaktahuan.
                                                                        *****
Bukan begitu. Kurasa begini-

Aku terus menatap keluar dinding kaca kafe. Secangkir kopi di atas meja mulai mendingin tak disentuh. Sekali lagi aku mengembuskan napas panjang. Seharusnya aku tak kesini, seharusnya aku tak mengajakmu untuk bertemu disini, seharusnya aku tak menyetujui kau menunggu.

Mungkin inilah yang disebut pertemuan terlarang. Aku yang belum punya SIM (Surat Izin Menemui) tetapi masih saja menemuimu.Tapi aku tak bisa menyangkal bahwa hatiku bersorak gembira saat kau mengajakku bertemu. Ya. Aku merindukanmu selama ini. Dan kau tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang yang seharusnya tidak boleh dirindukan? Rasanya menyesakkan.

Ah, bukan juga begini. Terlalu cemen dan rewel. Tapi tak apalah, mari dengarkan lanjutannya-

“Hai! Sudah lama? Maaf ya tadi ada sedikit urusan mendesak.” Katanya santai sambil duduk di hadapanku.

Aku menatapmu lekat, meyakinkan diriku bahwa sosok yang saat ini dihadapanku adalah benar dirimu.  Berusaha mencocokkan wajah yang kali ini di depanku dengan beberapa foto yang sering tergeletak di mejaku..

“Hei, kau memesan kopi? Bukankah kau tidak suka kopi sama sekali?” Tanyanya heran.

“Aku hanya ingin memesannya, rasanya menyenangkan menatap secangkir kopi hitam..”Kataku sambil memainkan cangkir kopiku. “kita seperti kopi hitam dalam gelas, ia mengendap. Tak terlihat, namun ada”.
Kau tertegun menatapku.

“Masih adakah kopi dalam gelas itu sekarang?” Tanyaku.

Ehm, kurasa begitu. Cukup akan membuatku tersipu jika wajah itu benar-benar menatapku.. 

yah, begini. Kenapa aku ingin jadi pengarang. Agar aku bisa dengan bebas menjadikannya tokoh utama dalam setiap cerita-ceritaku.

Ini cerita karanganku. Entah salah atau tidak  jika kukarang begitu dan berharap menjadikannya nyata dalam kehidupan si tokoh “aku”-

Rabu, 05 Juni 2013

bElum SeLEsaI

Diposting oleh Unknown di 01.39 0 komentar


Layaknya sopir Bus, tak tau kapan harus berhenti karena teriakan “stop” dari para penumpang dan kapan tancapkan gas kembali saat bermenit-menit menunggu penuhnya kursi oleh penumpang. Aku pun begitu, setidaknya untuk kali ini, tak tau cara memulai dan tak mampu berhenti. Namun ada banyak hal yang berlari-lari di otakku, mengejar kenangan yang menjadi bahan tulisan. Sebab aku sudah terlalu jumud dengan tulisan-tulisan penuh tata cara dan kode etik. Bulshit! Semuanya kini penuh kode etik, tak ada kepercayaan sedikitpun. Dunia kampusku saja, menyediakan kode etik yang tak kalah banyak dengan jumlah huruf hijaiyah. Ah, aku benar-benar jenuh dengan semua yang penuh aturan. Aku ingin sesekali menjadi diri sendiri, dengan peraturan-peraturanku sendiri, tapi pastinya dengan Allahku.
Oh, ya.. lupa kuperkenalkan. Aku gadis desa yang terobsesi jadi penulis. Entah sejak kapan aku menyukai dan menekuninya. Seingatku, sejak pertama mengenal eskrim dari orang tuaku, aku buru-buru lari ke kamar, ingin menarasikan “hore”ku pada setiap barisnya. Aku dulu paling suka menumpuk buku catatan untuk kutulis. Dalam seminggu, aku pasti menghasilkan tujuh tulisan. Tulisan-tulisanku ada di setiap hariku.. Dan aku paling suka mengumpulkan jenis-jenis buku harian yang designnya cantik.
Tapi itu dulu.. Semenjak memiliki seragam putih-donker dan putih abu-abu, aku malas membeli kertas. Merogoh kantongpun sepertinya hanya benang jahitan yang kudapat.  Aku lebih suka meminjam kertas anti-kusut di kantor OSIS atau bahkan di kantor karyawan magang calon Penulis semasa SMA dulu.
Hal yang paling tidak ingin kuselingkuhi adalah saat aku menutup telinga dengan earphone, mendengarkan musik  nuansa Pop atau bahkan lagu-lagu daerah yang paling nenek gandrungi.

Senin, 03 Juni 2013

SAAT INI KAMU..

Diposting oleh Unknown di 18.48 0 komentar


Kudengar suaramu parau..
“Kau sakit Al?”
“aku baik-baik saja sayang..”
Ah, kau masih sempat berbohong dengan keadaanmu. Kau pikir aku seseorang yang baru mengenalmu sejam yang lalu?  Sehingga untuk perubahan suaramupun aku tak tahu? Dasar kau, terlalu remeh menganggapku. Bahkan saat aku lupa menyalakan radar software, aku akan selalu bertemu dengan jalanmu bebohong.. Dan caramu berbohong hampir sama dengan perempuan yang sedang berusaha kuat dan tak mau dibilang cengeng. Selalu berusaha menampakkan keadaan baik-baik saja-
Saat ini aku ingin terbang bersama kemurnian fikiran dan kebaikan prasangka. Kau begitu, sebab kau mengerti, aku tak akan baik mendengar keadaanmu tak baik.. kau tak mau sendi-sendi di sekitar bibirku menegang dan tak mau melengkung. Bahkan di tengah keadaanmu begini, kau rela bercerita panjang lebar agar semuanya tampak seperti baik-baik saja.. Tentang ketangguhan Ayahmu yang jarang sakit, tentang semua keluargamu saat ini yang sedang menjadi korban pancaroba, bahkan sampai pada cerita menggelikan dari keponakanmu, Aim.
Yang terakhir ini, aku cukup tertarik, bahkan membuatku terpingkal. Yah, si Aim.. bagaimana ia meneriakkan rasa hore nya saat kau kembali pulang, sebab belakangan ini kau jarang pulang, kau terlalu disayang pengasuhmu, mungkin.. haha. Sambil meneriakkan “Om, kellong……..” Ah, Aim, aku tak pernah tau sebagaimana lucunya kamu. Tapi dalam benakku, kau seperti malaikat kecil yang selalu mencipta senyum dan patut mendapat senyum-
Kembali lagi di KAMU..
Sekali lagi kuyakinkan, saat ini kau dalam keadaan tak baik, aku tahu itu., suaramu tak mampu mengundang kenakalanku untuk mengejeknya.. Dan aku tidak bias memamerkan suaraku kembali, cukup mengerti dan memperhatikanmu saat ini. Sebab hati ya tetap hati. Milik Lelaki ataupun perempuan, tetap butuh perhatian. Right?
Kau terdengar lama tak bersuara, diam. Sepi.
Nafasmu semakin memburu, mungkin kau tertidur kupikir-
Untuk malam ini, aku ingin menemani, saat kau tak mau sepi..
Selamat tidur sayang..

*teringat candamu sebelum aku terlelap:
Nina bobo.. oh Nina bobo..
Kalau tidak bobo, aku yang bobo.. haha-
Sungguh aku mau bersama rindu ini, sampai bumi berhenti mengembun-

 #Al-

Sabtu, 01 Juni 2013

Mimpi Itu............

Diposting oleh Unknown di 22.02 0 komentar
            
            

            
            Apa yang kau tahu tentang mimpi?
            Sesuatu yang hadir di tengah lelap,atau yang ingin kau hadirkan setelah lelah?
            Ah, persetan dengan arti kata “mimpi”.Yang ku tahu, semalam aku bermimpi, dan selalu akan menjadi mimpi.

Begini:
Hujan lebat yang telah setengah hari turun tak juga tampakkan tanda-tanda mau berhenti. Malah makin menjadi-jadi. Di luar angin menerpa. Mendesak. Semangkuk bubur kacang ijo yang panas mengepul baru saja mengisi perut. Namun tetap saja takmampu mengusir angin dingin yang menerobos masuk ke ruang tamu.

Lebih baik menyembunyikan diri dalam rumah saat hujan begini, lebih hangat kurasa.Sebab aku tak suka hujan. Meski menurut seseorang yang sedang terlelap di atasranjangku, hujan akan selalu mengabadikan setiap cerita kita tanpa bisa dilirik orang. Dia akan selalu mengajakku menulis cerita di bawah hujan. Namun sampai saat ini, belum sempat kupenuhiu permintannya..

Saat ini pikiranku seperti kuda liar yang lepas kendali. Berlari di padang rumput tak bertepi. Seperti burung camar yang terbang bebas di atas laut lepas, dilangit luas. Meraambah kemana-mana. Mengenai segala apapun. Aku sungguh merasakan kenikmatan yang lain dari biasanya. Entah..

“kreng..krang.. kreng.. krang..” suara singkup yang menggesek-gesek semen buyarkan lamunanku. Kurang ajar kupikir, di hari hujan lebat dan angin dingin yangmenusuk ini, berani menggangguku. Siapa pula yang masih berani keluar rumahuntuk berkatifitas.  Aku menggerutu.

Tapi tunggu, aku seperti mengenal dua sosok yang sedang berada di ujung halam rumah.Tapi siapa? Aku terpaksa bangun dari kursi malas, memandang ke luar melaluijeruji besi jendela, berharap  dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang beraktifitas di halaman rumahku..

Sekali lagi kumenyeka mata, ah, mulai kulihat samar-samar. Rupanya si Ra dan Ree.. Pasangan pemilik rumah sebelah. Ree sahabatku, dan si Ra sahabat seseorang yang masihpulas di atas ranjang. Kita berinisiatif untuk hidup bersama di negeri rantau ini. Berempat. Gila..

Tapi mereka sedang apa? Kulihat sebuah gerobak dorong berisi sampah di sampingmereka. Oh, rupanya mereka sedang bersih-bersih halaman. Bagus juga., tapidasar kau Ree, kau akan selalu menggunakan waktumu untuk apapun di bawah hujan,sebab kau suka hujan. Perbandingan seratus delapanpuluh derajat dariku.. tapiaku menyayanginya, dia sahabatku..

Sesekali kulihat Ra mengelus kepala Ree, tawa kecil hadir di tengah mereka. Aku memandang cemburu..

Tiba-tiba ada yang melingkarkan tangan di tubuhku, memelukku. Al, seseorang yang kukenal dengan sebuah ketidaksengajaan. Tapi akhirnya aku jatuhkan pilihan di dirinya.

“kau terbangun sayang?”

“kau tak pernah suka hujan, tapi mari bantu aku menulis cerita di bawah hujan, kali ini saja..” seakan paham dengan kecemburuanku pada mereka..

Aku tak punya pilihan selain mengikutinya. Membiarkan tanganku digenggamnya ke bawah hujan. Namun belum sempat lepas dari teras rumah, dia membalikkan badan,mengambil sebuah sabit di bawah meja. Mungkin dia akan menyabit rumput dihalaman, mengimbangi mereka yang memungut sampah. Lalu kembali membawakuberlari, kali ini benar di bawah hujan. Aku menghentikan langkahku,,

“Al,aku benci hujan”

Kembali tak menghiraukan ucapku, dia kembali membawaku berlari.

Kudengar Ra berteriak: “Al, kemarilah!”

Kita mendekati mereka. Keningku masih mengkerut, bibirku masih manyun,,

“Rainy,aku tak suka hujan” kembali kumerengek pada Ree.

“Hanya karena kau tak pernah mengenalnya Rainbow,,” balas Ree.

Sesaat kemudian, Ree membalikkan badan, menghadap Ra. Ra mengecup keningnya. Tersenyumsebentar. Lalu kembali memunguti sampah-sampah yang ada.

Ah,mereka bahagia kurasa.

Kulihat Al jongkok, mulai menyabit rumput yang mulai tak nyaman dipandang.  Tak sampai hati membiarkannya sendirian menyabit rumput, akupun jongkok, berniat mencabut rumput dengan tanganku, sebabaku tak membawa sabit seperti yang sedang Al gunakan. Al menatapku, tersenyum.Tuhan, seketika semuanya berubah, manyun bibirku seakan tersihir menjadi sebuahsenyuman. Tanpa susah payah ku menggerakkan otot-otot di sekitar bibirku. Aku tersenyum,yes! Aku mencipta senyum, setidaknya itu sulit kulakukan di bawah hujan. Kecuali saat ini. Dan akupun sadar, ternyata bahagiaku sederhana Tuhan, cukup melihatnya tersenyum. Kali ini aku benar-benar bahagia-

Tuhan,kurasa kami berempat sedang melakukan tugas mulia. Berusaha memperbaiki satu sama lain. Bersama. Menjadikan rumah singgah kita menjadi yang terindah dari rumput tetangga. Dan kita tak cukup hanya sampai detik ini, sebab rumput dan sampattak kan pernah berhenti datang. Maka kita butuh perbaikan dan kebersamaan yang terus-menerus. Sebelum akhirnya benar-benar indah dan membuat cemburu yang melirik..
Aku menutup mata, menghadapkan muka ke langit, bentangkan kedua tangan, menarik napas dalam, marasakan kasih sayang  Tuhan yang teramat. Tuhan, aku ingin berbisik: “Aku tak kan pernah suka hujan, tapi aku bisa bahagia di bawah hujan.”

Tiba-tiba kudengar Ra berteriak: “Ree………….”

Si Al pun tak mau kalah, dia ikut nimbrung: “Fa…………..”

Mereka saling pandang, tertawa.

Ree mendekatiku, tersenyum dan berkata: “Tuhan menghadirkan lelaki hebat untuk kita”

“terimakasihTuhan..” lanjutku.

Hujan masih tercurah, seakan mengerti dengan bahagia ini. Dan tak ingin semuanya menghilang bersama redanya.. Tuhan, Aku bahagia…

 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang