Pertama
kepada Tuhan, maafkan!.
Aku
lancang melupakan sebuah cara bersyukur.
Kedua,
masih kepada Tuhan, terimakasih!
Untuk
sebuah kesadaran yang kau kirim melalui sepasang Sandal butut yang usang.
Entah siapa yang menyuruhku
menunduk, memandangi gerak kedua kaki yang sepertinya keluar rumah menuju
kampus. Kurasa kedua kaki itu sedang menjalankan tugas mulianya sebagai asisten
otak dan hati yang saat ini sedang kebingungan mencari jalan keluar.
Aku terus melihat perpaduan gerak
keduanya. Berkejaran. Indah. Tapi tunggu, sepertinya aku lebih tertarik dengan
alas kakiku. Ya, sandalku tepatnya.
Ia adalah sepasang yang terpisah.
Kulihat sandal kananku menginjak kerikil lebih banyak di depan warung kopi milik
seorang kakek tua yang kudengar bercerai dengan istrinya dua hari lalu. Lalu
sandal kiriku menginjak kawah-kawah kecil bekas tetesan air dari genteng rumah
tetangga sebelah. Si kanan menginjak plastik bekas bungkus krupuk, si kiri
menginjak sedotan warna biru keunguan. Yang kanan tersandung batu bekas
reruntuhan gapura di ujung gang ini, yang kiri kecipratan air yang berasal dari
tebak mainan bocah kecil yang biasa kupanggil Mioo. Lalu pasir. Batu. Bundelan
kertas. Plastik bekas. Puntung rokok. Vaping miring. Tanah. Batu lagi. Karet plasti.
Lilin. Dan terus bergantian, tak ada yang sama. Samapun itu dalam waktu yang
berbeda.
Akupun tak banyak menyangkal saat
banyak yang bilang mereka sepasang, satu bentuk dan satu warna. Tapi tugas dan
bebannyalah yang tak akan pernah sama. Tak ada waktu buat si Kanan mengelus
pundak si Kiri saat ia kelelahan. Pun sebaliknya. Tak ada yang saling
menghabiskan waktu untuk membersamai satu sama lain. Tak ada yang saling
menemani.
Meski sekilas, keduanya tampak
kompak. Tapi sekali lagi kuingatkan, beban dan tugasnya tak ada yang sama,
sekecil apapun.
Sampai di sini perlahan aku
mengerti. Dan berusaha mengaitkan ingatan tentangmu yang mendesak bermunculan.
Sepasang yang tak sama. Itu wajar. Bayangkan bila sandal menuntut gerak yang
sama, ah tidak. Tentu menyerupai gerak menjemukan kurasa. Tentupun tak enak
dipandang mata.
Baiklah Al, sekarang aku berusaha
tak kecewa. Tak lagi menuntutmu apa-apa. Intinya aku bebaskan semua. Dan lebih
menyederhanakan perasaan sinting yang membuat Romeo tak takut mati dan jutaan
orang bunuh diri. Perasaan yang membuat seseorang rela tak tidur hanya untuk
mengingat peristiwa apa saja seharian tadi yang dilalui bersama. Ah, menggila.
Dan sekarang aku lebih ingin kita seperti sandal saja. Sepasang yang tak sama.
Ya, sepasang yang tak sama. Itu kita. :)