Senin, 04 Mei 2015

Menggodok Mie #1



“Siapa sangka yang akan hadir di masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”

@Untuk kita yang the first sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
                Kamu asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku- dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku.  Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.            

Kita bertemu tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja. Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.

Tigapuluh menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala. Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.

“Nggak apa kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.

Kamu mengangguk. Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan mungkin sampai sekarang.

Entah bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain. Akutak ingat jelas pastinya.

Aku pun kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.

***

Tiga tahun berlalu.

Kawat: Apa kabar, Le?

Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis jelas di akunku?

La’la’: Baik.

Aku menjawab simpel. Buru-buru menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan banyak pertanyaan lainnya.
                 
Kita lalu melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.

Sebulan.

Dua bulan

Tiga bulan.

Kamu sedang dalam masalah besar.

Bersambung.


0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 04 Mei 2015

Menggodok Mie #1

Diposting oleh Unknown di 02.09


“Siapa sangka yang akan hadir di masa depan justru seseorang yang sudah sangat lama meninggalkan”

@Untuk kita yang the first sightnya sama sekali tidak istimewa.
***
                Kamu asyik menikmati agar-agar seharga lima ratusan berwarna hijau cerah-kesukaanku- dan sebungkus snack pilus entah merk apa. Posisi dudukmu sangat membantuku memahami sedikit kesukaan berikut watakmu: kamu penikmat buku dan pemikiran mendunia juga pembangkang aturan luar biasa. Alismu mengernyit, memandang hujan yang semakin menderas di hadapan kita. Untaian benang aneka warna dia atas kopiahmu bergoyang seketika kau menoleh, menatapku.  Kulitmu tak secerah pemain-pemain drama Korea. Mukamu tirus. Matamu tajam dan cekung. Senyumanmu misterius-untuk persepsi ini entah aku memperoleh diksi darimana. Ada lesung pipi di sebelah kiri mulutmu-setidaknya itu kalau aku tak salah ingat. Manis. Rambutmu tipis. Berkostum rapi, padahal waktu itu sudah menunjukkan siang hari yang-menurutku-biasanya membuat seseorang bermalasan memperhatikan penampilan. Tapi kamu tidak. Lalu apa lagi? Kita tunggu saja aku menceritakan tanpa sengaja. Setidaknya itu yang sedikit kuingat tentangmu-yang tak pernah kulihat lagi setelah pertemuan itu- dan pertemuan kita kali pertama.            

Kita bertemu tak seberapa lama. Karena memang tak ada pembicaraan hangat yang kita rindu untuk diperbincangkan. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kenapa kita bertemu? Entah kebetulan atau memang direncanakan Tuhan-aku condong pada opsi kedua, kita tiba-tiba berada dalam satu lingkup tugas dan kewajiban. Ada hal penting yang harus kamu tanyakan tentang perkembangan tugasku yang kamu jelaskan beberapa minggu sebelumnya. Akupun langsung melaporkan bagaimana aku yang pontang-panting melaksanakan tugas semampu yang aku bisa. Selesai topik utama, kamu mulai panjang lebar bercerita. Ada banyak pihak lembaga yang tidak kamu suka karena beberapa alasan yang menurutmu bisa diterima logika. Kamu tak sejalan pemikiran dengan mereka-apa kubilang? Kamu pembangkang luar biasa. Lalu saat kau meminta jatahku berkisah, aku geleng-geleng kepala. Saat itu aku masih kelas dua SMA. Hobiku berbicara memang sudah tercipta sejak aku ada, tapi di depan makhluk sejenismu, aku belum terbiasa. Aku memilih diam saja. Mendengarkan dengan seksama. Setidaknya aku ingin juga menjadi pendengar yang baik disamping profesiku sebagai pembicara andal-banyak oceh maksudnya.

Tigapuluh menit berlalu, hujan semakin deras saja. Sehingga tetesannya sesekali mengenai wajah kita. Basah. Kita tertawa. Dan bodohnya, aku terlambat menyadari bahawa saat itu posisi genteng di atasku sedikit bermasalah. Bukan bocor, tapi entah kenapa tepat di dinding tempat kubersandar, ada air mengalir sedemikian lancarnya. Dan aku baru menyadari setelah bagian belakang tubuhku sudah sangat basah. Kamu tampak panik melihat keadaanku dengan baju basah. Lalu menawariku untuk beberapa jarak lebih dekat dari tempatmu semula duduk. Agar tidak tambah basah, katamu. Aku sungkan. Menolak dengan hati-hati. Biarlah aku basah. Toh bukan kepalaku yang jadi korbannya-aku dijamin muntah-muntah pasca kena air hujan di bagian kepala. Aku merasa aman-aman saja. Untuk beberpa menit kamu tampak masih tak tega melihat tubuhku basah bagian belakang. Lalu pikirku kenapa kamu tak segara pulang saja, sehingga aku bisa cepat meninggalkan tempat itu dan mengganti baju di kamar. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda kamu akan beranjak.

“Nggak apa kok, kak. Ini sudah biasa”, malu-malu kumeyakinkanmu.

Kamu mengangguk. Lalu kembali meneruskan cerita tentang perjuanganmu dan beberapa temanmu dalam menerbitkan sebuah tulisan yang pada awalnya sangat ditentang beberapa pihak. Lelaki ini unik, pikirku saat itu-bahkan mungkin sampai sekarang.

Entah bagaimana kamu mengakhiri cerita, tiba-tiba kamu sudah berdiri. Pamit kembali ke asrama. Aku mengangguk tanpa sengaja. Entah apa yang sedang kupikirkan saat itu. Mengagumi caramu bercerita, atau aku sedang memikirkan beberapa hal lain. Akutak ingat jelas pastinya.

Aku pun kembali ke kamar, dengan hati sedikit mirip taman bunga. Entah mengapa.

***

Tiga tahun berlalu.

Kawat: Apa kabar, Le?

Lele? Aku mengernyitkan dahi. Lupa namaku? Bukankah sudah tertulis jelas di akunku?

La’la’: Baik.

Aku menjawab simpel. Buru-buru menulis balasan agar rasa kagetku sama sekali tak ketahuan. Wajar aku kaget bukan kepalang, selama tiga tahun kita putus hubungan. Aku sudah selesai dengan proyek tulisan dengan pihakmu. Aku keluar dari asrama dan melanjutkan studi ke kota -yang ulang tahunnya dirayakan selama satu bulan penuh dan sedang berlangsung saat aku menulis tulisan ini-ini. Sama sekali tidak ada yang memberiku kabar tentangmu selama tahun-tahun terakhir itu. Sehingga aku merasa perlu menanyakan banyak hal setelah sapaanmu yang tiba-tiba itu. Aku bahkan sudah semester dua. Entah kamu sedang dimana, kuliah dengan jurusan apa dan banyak pertanyaan lainnya.
                 
Kita lalu melanjutkan percakapan basa-basi tentang ini dan itu. Aku lupa detail percakapan kita. Maka lebih baik tidak kutuliskan saja. Aku khawatir kamu menuntutku jika aku ada kesalahan bahasa.

Sebulan.

Dua bulan

Tiga bulan.

Kamu sedang dalam masalah besar.

Bersambung.


0 komentar on "Menggodok Mie #1"

Posting Komentar


 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang