Ini berawal dari sebuah
keberanian. Entah sejak kapan ‘Berjalan Sendirian’ menjadi hobi paling
menyenangkan. Tapi kali ini benar-benar banyak mendapat omelan gara-gara meraka
anggap nekat. Yup, hari ini aku ke Malang, sendirian. Bisa kau tebak transportasi
apa yang kugunakan? Kereta.
Ini
ali pertama. Dari dulu serasa hanya dalam angan untuk mengendarainya. Penasaran
saja sama rute perjalanannya yang anti macet dan super tenang. Finally, hari
aku berani sendirian dalam kereta selama Surabaya-Malang.
Aku
cukup ceritakan kereta dan keindahannya, tak perlu kegilaanku yang lain sejak
kelinglungan di stasiun tadi. Bayangkan saja, ini kali pertama, aku sama sekali
nggak ngundang tour guide. Tapi tak apalah, setelah melalui proses kebingungan
yang sangat panjang, akhirnya aku duduk berhasil masuk ke gerbong kereta sesuai
yang tertulis di tiket. Begitupun tempat duduknya, hanya saja aku memilih duduk
di tempat lain yang tentu lebih strategis untuk kesehatan mata. And you know?
Seperti apa posisiku dalam kereta? Mengacuhkan teman sebelah dan hanya
memandang ke luar di balik jendela (Tempat yang paling aku suka dimana saja).
Subhanallah indahnya. Entah aku kerasukan setan apa, tiba-tiba aku tergerak
untuk menghitung apa saja yang aku temui sepanjang perjalanan. Bunga. Jembatan.
Sungai. Gunung. Semuanya. Yang kupikir it semua
lebih dari sekedar nggak ada kerjaan. Tapi aku suka.
Selain panorama alam yang ditawarkan, banyak
hal yang mebuatku terkagum-kagum di dalamnya. Salah satunya: ketenangan.
Seandai kehidupan manusia serupa kereta, yakinku tak ada kosa kata ‘tangis’
dalam dunia. Bayangkan saja, aku meletakkan botol minuman dengan posisi tegak
berdri sejak di stasiun. Dan sesampai di Malang, posisinya sama sekali tak
berubah: tetap tegak. Ini kubayangkan terbalik dengan suasana di dalam Bus. Botol minumanku jatuh
berkali-kali.
Tapi
dasar semua makhluk Tuhan punya dua sisi: Baik-Buruk. Bagiku si kereta Egois.
Bagaimana tidak? Seumur hidup (kalian juga tentunya) belum pernah ada berita
‘Kereta menunggu Penumpang’. Telat satu menit saja bisa jadi ditinggalkan.
Lagi-lagi tak seperti bus yang rela berjam-jam menunggu penumpang penuh. Selain
itu, mana ada kereta ng-rem dalam rangka mengalah untuk beberapa kendaraan yang
berlalu lalang di depannya? Nggak pernah kan? Selalu saja ratusan kendaraan
lainnya yang menunggu bermenit-menit sampai kereta benar-benar hilng dari
pandangan. Ah, menyebalkan juga ternyata si kereta.
Tapi
secara keseluruhan, aku tetap suka. Sangat suka. Tentang kebingungan berikutnya
di stasiun berikutnya, tak perlu kalian tau seperti apa.
Aku
suka. Karena hijauku ada di sana: di balik jendela kereta.