Minggu, 14 Desember 2014
Aku Curiga.
Tentangku yang akhir-akhir ini sudah membosankan atau sudah sangat tak menyenangkan, itu wajar. Sebab kamu manusia pada umumnya yang menurut temanku memang memiliki titik jenuh itu. Barangkali aku saja sebagai entah makhluk mana merasa tersanjung terlalu besar dulunya. Padahal mungkin memang tak pernah ada cinta.
Seketika aku ingin memotong gigi geraham agar tak sedikitpun aku menggeram saat tau aku terabaikan untuk sebuah kesenangan yang baru saja kau dapatkan. Mungkin.
Temanku bilang, tingkat kepekaan seorang wanita jauh lebih kuat dibanding lelaki manapun. Dan ia buktikan setelah mengamatiku selama berbulan-bulan. Kali ini aku mau menyetujui seratus delapan puluh persen: Aku peka. Bahkan sudah sejak lama aku berpikir apa yang tak pernah kamu pikirkan. Kamu sedang sama yang lain kan? Entah mau kau istilahkan apa, saudara, tetangga atau apalah. Intinya kau sedang menikmati sebuah kesenangan baru.
Awalnya aku diam saja, menjalankan titah seorang perempuan baik yang meski pada suatu saat harus rela dibilang begok dan goblok. Aku tak pernah menyunting apapun privasimu, karena kutahu kau tak suka itu. Lama kelamaan, berdiam serasa membunuhku pelan-pelan. Karena aku harus memperjuangkanmu sendirian.
Aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Aku tak suka basa-basi. Aku tau. Kamu selingkuh. Titik. Kupikir tak boleh memanjangkan praduga sampai ke titik-titik yang mengancam kita. Tapi justru kecurigaan awal itulah yang berhasil mendasari isu menjadi fakta. Kau tau aku berasal dari sebuah kecurigaan. Tapi nyatanya benar kan? Lalu sekarang aku bisa apa? Menuduhmu dengan mata menuding tepat di kepalamu? Kurasa setelahnya aku dipecat dari komunitas perempuan baik-baik.
Kau tau aku paling takut dan enggan
mengambil sebuah keputusan yang cukup memberatkan. Aku tak mau jadi subyek yang
pertama melepaskan. Apalagi jika harus membebanimu tuduhan. Kutahu kamu pintar
mengelak dan mengembalikan segala sesuatunya seperti tak ada apa-apa. Aku
bahkan dengan sangat bangga tampak bodoh di depanmu untuk cari aman. Siapa
yang pengecut di sini? Aku yang tak mampu jadi diri sendiri atau kamu yang
tugasnya hanya mengibuli? Aku lebih memilih disakiti daripada harus menyakiti.
Tapi akupun tidak yakin aku baik-baik saja dalam bertahan. Lalu aku harus
gimana, Al? Aku perlu lari ke langit ke tujuh untuk mencari sebuah kejujuran?
Dalam hal ini sama sekali aku tak pernah takut dilepaskan. Bahkan tak jarang aku malah mendoakan. Aku hanya ingin bebas dengan rasaku, Al. Karena saat ada yang saling melepas, segala halnya murni menjadi hakku. Cinta, cemburu, rindu dan apapun itu murni bebas kumiliki kapan saja tapi dengan catatan tanpa kau tau. Kadang aku berfikir sebaiknya begitu. Daripada harus sok memiliki tapi berani menyakiti.
Tuhan, otakku sedang acak-acakan, amburadul dan tak karuan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Minggu, 14 Desember 2014
Aku Curiga.
Tentangku
yang akhir-akhir ini sudah membosankan atau sudah sangat tak menyenangkan, itu
wajar. Sebab kamu manusia pada umumnya yang menurut temanku memang memiliki
titik jenuh itu. Barangkali aku saja sebagai entah makhluk mana merasa
tersanjung terlalu besar dulunya. Padahal mungkin memang tak pernah ada cinta.
Seketika aku ingin memotong gigi
geraham agar tak sedikitpun aku menggeram saat tau aku terabaikan untuk sebuah
kesenangan yang baru saja kau dapatkan. Mungkin.
Temanku bilang, tingkat kepekaan
seorang wanita jauh lebih kuat dibanding lelaki manapun. Dan ia buktikan
setelah mengamatiku selama berbulan-bulan. Kali ini aku mau menyetujui seratus
delapan puluh persen: Aku peka. Bahkan sudah sejak lama aku berpikir apa yang
tak pernah kamu pikirkan. Kamu sedang sama yang lain kan? Entah mau kau
istilahkan apa, saudara, tetangga atau apalah. Intinya kau sedang menikmati
sebuah kesenangan baru.
Awalnya aku diam saja, menjalankan
titah seorang perempuan baik yang meski pada suatu saat harus rela dibilang
begok dan goblok. Aku tak pernah menyunting apapun privasimu, karena kutahu kau
tak suka itu. Lama kelamaan, berdiam serasa membunuhku pelan-pelan. Karena aku
harus memperjuangkanmu sendirian.
Aku ingin teriak sekencang-kencangnya.
Aku tak suka basa-basi. Aku tau. Kamu selingkuh. Titik. Kupikir tak boleh memanjangkan praduga
sampai ke titik-titik yang mengancam kita. Tapi justru kecurigaan awal itulah
yang berhasil mendasari isu menjadi fakta. Kau tau aku berasal dari sebuah kecurigaan. Tapi nyatanya benar
kan? Lalu sekarang aku bisa apa? Menuduhmu dengan mata menuding tepat di
kepalamu? Kurasa setelahnya aku dipecat dari komunitas perempuan baik-baik.
Kau tau aku paling takut dan enggan
mengambil sebuah keputusan yang cukup memberatkan. Aku tak mau jadi subyek yang
pertama melepaskan. Apalagi jika harus membebanimu tuduhan. Kutahu kamu pintar
mengelak dan mengembalikan segala sesuatunya seperti tak ada apa-apa. Aku
bahkan dengan sangat bangga tampak bodoh di depanmu untuk cari aman. Siapa
yang pengecut di sini? Aku yang tak mampu jadi diri sendiri atau kamu yang
tugasnya hanya mengibuli? Aku lebih memilih disakiti daripada harus menyakiti.
Tapi akupun tidak yakin aku baik-baik saja dalam bertahan. Lalu aku harus
gimana, Al? Aku perlu lari ke langit ke tujuh untuk mencari sebuah kejujuran?
Dalam hal ini sama sekali aku tak
pernah takut dilepaskan. Bahkan tak jarang aku malah mendoakan. Aku hanya ingin
bebas dengan rasaku, Al. Karena saat ada yang saling melepas, segala halnya
murni menjadi hakku. Cinta, cemburu, rindu dan apapun itu murni bebas kumiliki
kapan saja tapi dengan catatan tanpa kau tau. Kadang aku berfikir sebaiknya
begitu. Daripada harus sok memiliki tapi berani menyakiti.
Tuhan, otakku sedang acak-acakan,
amburadul dan tak karuan.
14
Juni 201400:07
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar