Kamis, 19 Maret 2015

Bukan Surat Cinta


Percaya atau tidak, aku tercenung tiga puluh menit sebelum memulai tulisan ini. Bingung harus memulai dengan sapa ceria, datar-datar saja atau bahkan menampakkan saja bahwa aku belum sepenuhnya berhenti menjadi perempuan insomnia setiap malamnya. Semua kata berlomba menjadi yang pertama dalam tulisan. Semua peristiwa meronta menjadi yang paling awal diceritakan. Seandai otakku berbahan beling, sudah kupecahkan jauh sebelum aku berkeinginan menuliskan keadaan paling mematikan ini: mematikan karena harus ada banyak hal yang sengaja aku hadirkan dalam ingatan. Mulai dari rasa kenyang yang kuperoleh tanpa satupun suapan, sampai satu jam setelah melahap beberapa menu masakan, perutku masih merasa kelaparan.

Otakku masih membayangkan banyak hal yang berlalu-lalang sejak beberapa bulan terakhir. Tentang tips mengelus dada yang lebih kreatif, semangat bergabung bersama banyak orang yang kerjanya hanya baca tulis, sampai pada penyusunan resolusi yang ujung-ujungnya mendapat umpatan sendiri dari otak dan hati bahwa rancanganku tak lebih dari sekedar resolusi basi.

Awalnya aku ingin ngakak saja, menyadari betapa aku merasa satu-satunya perempuan termalang di dunia-setidaknya itu lebih menguasai pikiranku beberapa waktu lalu- yang sudah tidak percaya bahwa yang berbuat baik pada sesama dan mengasihi hewan lebih dari manusia lainnya, akan dihampiri seorang pangeran berkuda putih yang rupawan dan sangat keren nama panggilannya.

Aku sudah mensugestikan diri sendiri bahwa di luar sana semua mata lelaki berbentuk sama: KOTAK. Padahal temanku bilang, Spongebob yang tubuhnya kotak saja masih memiliki mata bulat sempurna. Tapi entah, intinya aku merasa mata mereka tidak hanya akan melukai sepasang mata lain yang memandangnya sekali, melainkan berkali-kali. Seperti sebuah kotak dengan empat sudutnya, satu sudut tobat dengan perlakuannya, sudut lain berebut menagih jatahnya. Atau pikiran picik ini datang setelah aku divonis trauma stadium empat. Entah.

Tiga puluh menit berlalu dengan kecamuk pikiran yang lebih buruk dari kata ‘amburadul’. Berputar mengelilingi satu titik paling membahayakan untuk dipandang, dikenang apalagi diharapkan. Meski itu-itu saja yang sampai saat ini masih kulakukan. Semuanya masih berotasi sempurna.
Akhirnya satu keputusan berani kulontarkan: Tak ada tulisan yang lebih bernyawa kecuali jika itu tentang kekonyolanku yang kuanggap terhormat. Dan tak ada tulisan konyol kecuali jika pembacanya kukhususkan untukmu saja. Ya. Tulisan ini untukmu: yang seharusnya naik menara Eiffel, atau minimal ke Monas untuk rasa syukurmu karena kehadiranku yang lebih mirip robot perempuan dengan perasaan lebih kuat dari manusia lainnya lalu menyukaimu sedemikian hebatnya. Atau kamu malah merasa harus meratap di pekuburan sempit pinggiran kota karena aku kau anggap sosok manusia yang bukan main ngototnya memilihmu dalam setiap rangkaian doanya. Dan kamu menyesal pernah berjabat tangan dengannya. Aku tak tau. Aku takut mempertanyakan tanggapanmu.

Hei, aku berbasa-basi terlalu panjang. Bukan karena sok merhasiakan, tapi memang sambil lalu memikirkan jenis tulisan apalagi yang harus kusampaikan. Model marah-marah sudah terlalu biasa untuk dipublikasikan, sok melankolis juga sudah berpuluh-puluh halaman yang akan kamu temukan. Yang pasti tulisan ini akan lebih memahamkanmu bagaimana aku menyihir diri menjadi pemeran tangguh seperti dalam film-film heroik beberapa bulan terakhir ini. Melawan banyak monster yang lebih membahayakan dari Griever, lebih mematikan dari tatapan Gorgon dan lebih menyeramkan dari Banshee. Monster-monster itu muncul dari keragaman pikiranku sendiri. Bagaimana monster cemburu tak tepat waktu, rasa sedih yang berlarut-larut dan ketidak-mampuanku berdamai dengan kenyataan jelas akan sangat ganas menggerogoti hati tanpa kenal ampun. Aku sudah lama berjuang melawan itu semua. Hasilnya? Dengan sangat percaya diri-tapi tidak sombong-aku berani jamin bahwa aku sudah memenangkannya.
                                                                                                          ***
Bicara tentang kamu memang unik. Seunik pernak-pernik peninggalan para keluarga kerajaan yang hanya bisa kita lihat di balik kaca sedemikian tebalnya, tanpa sedetikpun para penjaga museum mengizinkan kita memegangnya. Kamu hanya bisa kuinjak kakinya lewat lagu yang pernah kamu nyanyikan, hanya bisa kuacak rambutnya melalui foto pajangan di dinding kamar dan hanya bisa kupeluk lewat ingatan yang mengoyak kesabaran.
Aku tidak perlu khawatir ditangkap pihak kepolisian saat harus mengusut tindakanmu yang kuanggap sangat kriminal. Membunuh dengan tragis rasa sabar dan keceriaanku untuk berbulan-bulan. Tapi sebagai keluarga korban, sama sekali aku tak menyimpan dendam maupun  membencimu dengan sangat tajam. Aku tidak bisa lakukan itu. Kamu masih saja rutin kurapal dalam doa dan kupanggil-panggil tiap pagi tanpa peduli kamu sesibuk apa. Aku dibilang tidak paham aturan mungkin sangat benar, bahkan jagonya.

Lambat laun aku merasa harus merenovasi sukaku dari yang lumrah dialami teman-teman sebayaku menjadi yang serba tangguh tapi mengacak-acak hati seperti dalam beberapa kisah yang ditulis Dee dalam bukunya, Rectoverso. Aku harus mengaplikasikan lirik lagu dari penyanyi satu-satunya yang paling aku gilai suaranya di Indonesia. Kamu taulah lagunya apa dan milik siapa. Aku harus. Aku harus. Banyak hal yang kutuntutkan sendiri untuk diri sendiri. Cukup caranya yang wajib lebih kuperbaiki. Sedangkan doa? Aku tak berani mengotak-atiknya. Kamu masih tetap rapi dalam susunan fatihah setelah para guru dan kedua orang tua. Tidak berlebihan, kan? Aku tidak menyangkal jika banyak yang bilang aku goblok memperjuangkan ini sendirian. Tapi entah kenapa, keyakinanku berdiri tegak dengan sangat angkuhnya: bahwa kamu tetap lelaki pertama yang akan kuinjak kaki dan kuacak rambutnya setelah saudaraku (ssst, yang memiliki inisial cahaya boleh ngerasa tercubit lengannya :D) menyanyikan All of Me dan Thinking Out Loud dalam upacara pengukuhan aku-kamu menjadi kita. *haha. Nggak ada yang ngelarang mimpi kita sebegini gilanya, kan?*

Aku selalu kehabisan cara menceritakanmu pada semesta. Sebab kupercaya kamu punya banyak ilmu mistis yang mampu membuatku ngakak dan meratap di waktu yang sama. Yang selalu punya alasan kenapa harus kusebut namamu menjelang tidur setiap malamnya. Yang selalu ada dalam rentetan daftar masa depan bahagia. Hahaha. Aku gila? Boleh saja. Tapi aku punya alat lebih besar dari earphone yang bisa menutup rapat telinga. Mau kamu tertawa ya aku ikut tertawa. Kamu terpesona ya aku tujuh kali melompat bahagia. :D

Sebelum kuakhiri surat yang hampir saja kukirim ke rumah Juliet di sana, anggap saja tulisan ini sebagai jawaban dari tanya yang kamu lontarkan beberapa jam sebelumnya. Jika kamu peka dan mau berbaik hati untuk kesekian kalinya, aku mau jawaban dengan pertanyaan yang sama. ‘Bagaimana bentuk kakiku dalam kacamat 3Dmu?’ :D
                                                                                                    SEKIAN

*Kita bertemu di alphabet selanjutnya. Salam dua kaki!. Tendang!. Kita bahagia!
**Ditulis dalam keadaan yang hanya bisa dideskripsikan para peri kepada Cinderella dan dalam waktu yang hanya bisa dijelaskan oleh Doraemon kepada Nobita.

0 komentar:

Posting Komentar

Kamis, 19 Maret 2015

Bukan Surat Cinta

Diposting oleh Unknown di 00.25

Percaya atau tidak, aku tercenung tiga puluh menit sebelum memulai tulisan ini. Bingung harus memulai dengan sapa ceria, datar-datar saja atau bahkan menampakkan saja bahwa aku belum sepenuhnya berhenti menjadi perempuan insomnia setiap malamnya. Semua kata berlomba menjadi yang pertama dalam tulisan. Semua peristiwa meronta menjadi yang paling awal diceritakan. Seandai otakku berbahan beling, sudah kupecahkan jauh sebelum aku berkeinginan menuliskan keadaan paling mematikan ini: mematikan karena harus ada banyak hal yang sengaja aku hadirkan dalam ingatan. Mulai dari rasa kenyang yang kuperoleh tanpa satupun suapan, sampai satu jam setelah melahap beberapa menu masakan, perutku masih merasa kelaparan.

Otakku masih membayangkan banyak hal yang berlalu-lalang sejak beberapa bulan terakhir. Tentang tips mengelus dada yang lebih kreatif, semangat bergabung bersama banyak orang yang kerjanya hanya baca tulis, sampai pada penyusunan resolusi yang ujung-ujungnya mendapat umpatan sendiri dari otak dan hati bahwa rancanganku tak lebih dari sekedar resolusi basi.

Awalnya aku ingin ngakak saja, menyadari betapa aku merasa satu-satunya perempuan termalang di dunia-setidaknya itu lebih menguasai pikiranku beberapa waktu lalu- yang sudah tidak percaya bahwa yang berbuat baik pada sesama dan mengasihi hewan lebih dari manusia lainnya, akan dihampiri seorang pangeran berkuda putih yang rupawan dan sangat keren nama panggilannya.

Aku sudah mensugestikan diri sendiri bahwa di luar sana semua mata lelaki berbentuk sama: KOTAK. Padahal temanku bilang, Spongebob yang tubuhnya kotak saja masih memiliki mata bulat sempurna. Tapi entah, intinya aku merasa mata mereka tidak hanya akan melukai sepasang mata lain yang memandangnya sekali, melainkan berkali-kali. Seperti sebuah kotak dengan empat sudutnya, satu sudut tobat dengan perlakuannya, sudut lain berebut menagih jatahnya. Atau pikiran picik ini datang setelah aku divonis trauma stadium empat. Entah.

Tiga puluh menit berlalu dengan kecamuk pikiran yang lebih buruk dari kata ‘amburadul’. Berputar mengelilingi satu titik paling membahayakan untuk dipandang, dikenang apalagi diharapkan. Meski itu-itu saja yang sampai saat ini masih kulakukan. Semuanya masih berotasi sempurna.
Akhirnya satu keputusan berani kulontarkan: Tak ada tulisan yang lebih bernyawa kecuali jika itu tentang kekonyolanku yang kuanggap terhormat. Dan tak ada tulisan konyol kecuali jika pembacanya kukhususkan untukmu saja. Ya. Tulisan ini untukmu: yang seharusnya naik menara Eiffel, atau minimal ke Monas untuk rasa syukurmu karena kehadiranku yang lebih mirip robot perempuan dengan perasaan lebih kuat dari manusia lainnya lalu menyukaimu sedemikian hebatnya. Atau kamu malah merasa harus meratap di pekuburan sempit pinggiran kota karena aku kau anggap sosok manusia yang bukan main ngototnya memilihmu dalam setiap rangkaian doanya. Dan kamu menyesal pernah berjabat tangan dengannya. Aku tak tau. Aku takut mempertanyakan tanggapanmu.

Hei, aku berbasa-basi terlalu panjang. Bukan karena sok merhasiakan, tapi memang sambil lalu memikirkan jenis tulisan apalagi yang harus kusampaikan. Model marah-marah sudah terlalu biasa untuk dipublikasikan, sok melankolis juga sudah berpuluh-puluh halaman yang akan kamu temukan. Yang pasti tulisan ini akan lebih memahamkanmu bagaimana aku menyihir diri menjadi pemeran tangguh seperti dalam film-film heroik beberapa bulan terakhir ini. Melawan banyak monster yang lebih membahayakan dari Griever, lebih mematikan dari tatapan Gorgon dan lebih menyeramkan dari Banshee. Monster-monster itu muncul dari keragaman pikiranku sendiri. Bagaimana monster cemburu tak tepat waktu, rasa sedih yang berlarut-larut dan ketidak-mampuanku berdamai dengan kenyataan jelas akan sangat ganas menggerogoti hati tanpa kenal ampun. Aku sudah lama berjuang melawan itu semua. Hasilnya? Dengan sangat percaya diri-tapi tidak sombong-aku berani jamin bahwa aku sudah memenangkannya.
                                                                                                          ***
Bicara tentang kamu memang unik. Seunik pernak-pernik peninggalan para keluarga kerajaan yang hanya bisa kita lihat di balik kaca sedemikian tebalnya, tanpa sedetikpun para penjaga museum mengizinkan kita memegangnya. Kamu hanya bisa kuinjak kakinya lewat lagu yang pernah kamu nyanyikan, hanya bisa kuacak rambutnya melalui foto pajangan di dinding kamar dan hanya bisa kupeluk lewat ingatan yang mengoyak kesabaran.
Aku tidak perlu khawatir ditangkap pihak kepolisian saat harus mengusut tindakanmu yang kuanggap sangat kriminal. Membunuh dengan tragis rasa sabar dan keceriaanku untuk berbulan-bulan. Tapi sebagai keluarga korban, sama sekali aku tak menyimpan dendam maupun  membencimu dengan sangat tajam. Aku tidak bisa lakukan itu. Kamu masih saja rutin kurapal dalam doa dan kupanggil-panggil tiap pagi tanpa peduli kamu sesibuk apa. Aku dibilang tidak paham aturan mungkin sangat benar, bahkan jagonya.

Lambat laun aku merasa harus merenovasi sukaku dari yang lumrah dialami teman-teman sebayaku menjadi yang serba tangguh tapi mengacak-acak hati seperti dalam beberapa kisah yang ditulis Dee dalam bukunya, Rectoverso. Aku harus mengaplikasikan lirik lagu dari penyanyi satu-satunya yang paling aku gilai suaranya di Indonesia. Kamu taulah lagunya apa dan milik siapa. Aku harus. Aku harus. Banyak hal yang kutuntutkan sendiri untuk diri sendiri. Cukup caranya yang wajib lebih kuperbaiki. Sedangkan doa? Aku tak berani mengotak-atiknya. Kamu masih tetap rapi dalam susunan fatihah setelah para guru dan kedua orang tua. Tidak berlebihan, kan? Aku tidak menyangkal jika banyak yang bilang aku goblok memperjuangkan ini sendirian. Tapi entah kenapa, keyakinanku berdiri tegak dengan sangat angkuhnya: bahwa kamu tetap lelaki pertama yang akan kuinjak kaki dan kuacak rambutnya setelah saudaraku (ssst, yang memiliki inisial cahaya boleh ngerasa tercubit lengannya :D) menyanyikan All of Me dan Thinking Out Loud dalam upacara pengukuhan aku-kamu menjadi kita. *haha. Nggak ada yang ngelarang mimpi kita sebegini gilanya, kan?*

Aku selalu kehabisan cara menceritakanmu pada semesta. Sebab kupercaya kamu punya banyak ilmu mistis yang mampu membuatku ngakak dan meratap di waktu yang sama. Yang selalu punya alasan kenapa harus kusebut namamu menjelang tidur setiap malamnya. Yang selalu ada dalam rentetan daftar masa depan bahagia. Hahaha. Aku gila? Boleh saja. Tapi aku punya alat lebih besar dari earphone yang bisa menutup rapat telinga. Mau kamu tertawa ya aku ikut tertawa. Kamu terpesona ya aku tujuh kali melompat bahagia. :D

Sebelum kuakhiri surat yang hampir saja kukirim ke rumah Juliet di sana, anggap saja tulisan ini sebagai jawaban dari tanya yang kamu lontarkan beberapa jam sebelumnya. Jika kamu peka dan mau berbaik hati untuk kesekian kalinya, aku mau jawaban dengan pertanyaan yang sama. ‘Bagaimana bentuk kakiku dalam kacamat 3Dmu?’ :D
                                                                                                    SEKIAN

*Kita bertemu di alphabet selanjutnya. Salam dua kaki!. Tendang!. Kita bahagia!
**Ditulis dalam keadaan yang hanya bisa dideskripsikan para peri kepada Cinderella dan dalam waktu yang hanya bisa dijelaskan oleh Doraemon kepada Nobita.

0 komentar on "Bukan Surat Cinta"

Posting Komentar


 

Nufa La'la' Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang