Silahkan lihat betapa jahatnya aku, berani mengusikmu dari zona
nyaman masa lalumu. Bukan alasan tak percaya, justru besarnya
kepercayaan ini yang mebuatku ingin mengatakan: Aku cemburu. Tanpa boleh
kau lupa, cemburuku hanya sepanjang aku menuliskannya. Saat nanti kau
temukan titik di akhir tulisan ini, di situlah cemburuku berakhir.
Mari kulanjutkan:
Pada perempuan itu, kuakui aku cemburu.
Bukan pada kecantikan parasnya, bukan pada kebagusan pekertinya, bukan pula pada kejeniusan otaknya.
Aku
hanya cemburu pada kekuatannya yang mampu bangunkanmu bahkan di tengah
malam hanya demi beberapa kalimat doa dan beberapa larik puisi.
Mengajakmu untuk peka dalam bacaan-bacaan alam. Angin, embun, ombak dan
cahaya kau rasakan sebagai caranya mengajarkan Rindu. Dia mendekatimu,
kau dengan bijak akan bersyukur. Dia menjauhimu, dengan tenang kau
berdoa.
Pada perempuan itu sekali lagi aku cemburu.
Dengan senyumnya nyaris membuatmu sekarat. Desah nafasnya yang tak kan pernah kau lupa sejak di bibir pantai sore itu.
Aku bukan tak tau Sayang,
Dari
dulu kuanggap hanya sebaris masalalu, yang pernah kalian miliki. Tapi
sekarang aku ingin tau, sampai dimana kau nilai kejahatanku jika
mengusik itu.
Jujur, aku ingin meneriakkan ini tepat di depan mukamu.
Menanyakanmu dengan sempurna, berapa kelipatan Baik-Buruk yang kau
dapat di masanya dan masaku.
Kau tau aku suka menulis,
tapi ditulis lebih indah kurasa. Wajar saja aku cemburu, sebab perempuan
itu yang berulangkali kau tulis, bukan aku.
Dan perempuan itu berhasil menjadikanmu Penulis.
Kau begitu nyaman dengan kejujuran di bawah kata-katamu, yang kurasa itu lebih bisa dipercaya.
Ribuan lembar bahkan tak cukup untuk mewakili seberapa kau Rindu.
Aku tak ingin membandingkannya dengan apapun.
Apalagi
hanya dengan satu kalimat di ponselku "Aku Rindu". Dulunya aku
tersanjung dan merasa menjadi perempuan baik bisa mempercayaimu begitu
besarnya. Sekarang kalimat di layar hapeku seperti tak punya nilai
apa-apa. Maka aku tak ingin membandingkannya, sebab jelas tak sebanding.
Sekarang aku berkata lebih lirih, tanpa teriak. Agar aku tak lancang memekakkan telingamu.
'Pada perempuan itu aku cemburu'.
Dan aku sengaja mengistirahatkan otakku hari ini.
Sekedar tak ingin menerima umpatan dari diri sendiri, sebab dengan kurang ajar aku mencemburuinya.
Tapi tetap saja kuhalalkan. Setidaknya untuk kali ini. Sekali lagi.
Aku tau, katanya masalalumu adalah milikmu, masa laluku adalah milikku dan masadepan adalah... Ah, persetan.
Aku
hanya kembali ingin tau, jika aku dan perempuan itu berdiri di ruang
yang sama, dalam waktu yang bernama satu. Tiba-tiba datang malaikat
menawarimu pilihan, mustahil kau memilih menjadikannya rapi di ruang
kenangan.
Dan untuk yang kesekian, pada perempuan itu aku cemburu.
Yang sukses membuatmu nyaris gila. Terhuyung-huyung ditampar kenyataan.
Pada permpuan itu aku cemburu.
Aku cemburu pada perempuan itu.
Atas nama hati, tanpa dukungan otak: Aku cemburu. Titik.
Kamis, 17 Oktober 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kamis, 17 Oktober 2013
Aku Cemburu. ;-)
Silahkan lihat betapa jahatnya aku, berani mengusikmu dari zona
nyaman masa lalumu. Bukan alasan tak percaya, justru besarnya
kepercayaan ini yang mebuatku ingin mengatakan: Aku cemburu. Tanpa boleh
kau lupa, cemburuku hanya sepanjang aku menuliskannya. Saat nanti kau
temukan titik di akhir tulisan ini, di situlah cemburuku berakhir.
Mari kulanjutkan:
Pada perempuan itu, kuakui aku cemburu.
Bukan pada kecantikan parasnya, bukan pada kebagusan pekertinya, bukan pula pada kejeniusan otaknya.
Aku hanya cemburu pada kekuatannya yang mampu bangunkanmu bahkan di tengah malam hanya demi beberapa kalimat doa dan beberapa larik puisi. Mengajakmu untuk peka dalam bacaan-bacaan alam. Angin, embun, ombak dan cahaya kau rasakan sebagai caranya mengajarkan Rindu. Dia mendekatimu, kau dengan bijak akan bersyukur. Dia menjauhimu, dengan tenang kau berdoa.
Pada perempuan itu sekali lagi aku cemburu.
Dengan senyumnya nyaris membuatmu sekarat. Desah nafasnya yang tak kan pernah kau lupa sejak di bibir pantai sore itu.
Aku bukan tak tau Sayang,
Dari dulu kuanggap hanya sebaris masalalu, yang pernah kalian miliki. Tapi sekarang aku ingin tau, sampai dimana kau nilai kejahatanku jika mengusik itu.
Jujur, aku ingin meneriakkan ini tepat di depan mukamu. Menanyakanmu dengan sempurna, berapa kelipatan Baik-Buruk yang kau dapat di masanya dan masaku.
Kau tau aku suka menulis, tapi ditulis lebih indah kurasa. Wajar saja aku cemburu, sebab perempuan itu yang berulangkali kau tulis, bukan aku.
Dan perempuan itu berhasil menjadikanmu Penulis.
Kau begitu nyaman dengan kejujuran di bawah kata-katamu, yang kurasa itu lebih bisa dipercaya.
Ribuan lembar bahkan tak cukup untuk mewakili seberapa kau Rindu.
Aku tak ingin membandingkannya dengan apapun.
Apalagi hanya dengan satu kalimat di ponselku "Aku Rindu". Dulunya aku tersanjung dan merasa menjadi perempuan baik bisa mempercayaimu begitu besarnya. Sekarang kalimat di layar hapeku seperti tak punya nilai apa-apa. Maka aku tak ingin membandingkannya, sebab jelas tak sebanding.
Sekarang aku berkata lebih lirih, tanpa teriak. Agar aku tak lancang memekakkan telingamu.
'Pada perempuan itu aku cemburu'.
Dan aku sengaja mengistirahatkan otakku hari ini.
Sekedar tak ingin menerima umpatan dari diri sendiri, sebab dengan kurang ajar aku mencemburuinya.
Tapi tetap saja kuhalalkan. Setidaknya untuk kali ini. Sekali lagi.
Aku tau, katanya masalalumu adalah milikmu, masa laluku adalah milikku dan masadepan adalah... Ah, persetan.
Aku hanya kembali ingin tau, jika aku dan perempuan itu berdiri di ruang yang sama, dalam waktu yang bernama satu. Tiba-tiba datang malaikat menawarimu pilihan, mustahil kau memilih menjadikannya rapi di ruang kenangan.
Dan untuk yang kesekian, pada perempuan itu aku cemburu.
Yang sukses membuatmu nyaris gila. Terhuyung-huyung ditampar kenyataan.
Pada permpuan itu aku cemburu.
Aku cemburu pada perempuan itu.
Atas nama hati, tanpa dukungan otak: Aku cemburu. Titik.
Mari kulanjutkan:
Pada perempuan itu, kuakui aku cemburu.
Bukan pada kecantikan parasnya, bukan pada kebagusan pekertinya, bukan pula pada kejeniusan otaknya.
Aku hanya cemburu pada kekuatannya yang mampu bangunkanmu bahkan di tengah malam hanya demi beberapa kalimat doa dan beberapa larik puisi. Mengajakmu untuk peka dalam bacaan-bacaan alam. Angin, embun, ombak dan cahaya kau rasakan sebagai caranya mengajarkan Rindu. Dia mendekatimu, kau dengan bijak akan bersyukur. Dia menjauhimu, dengan tenang kau berdoa.
Pada perempuan itu sekali lagi aku cemburu.
Dengan senyumnya nyaris membuatmu sekarat. Desah nafasnya yang tak kan pernah kau lupa sejak di bibir pantai sore itu.
Aku bukan tak tau Sayang,
Dari dulu kuanggap hanya sebaris masalalu, yang pernah kalian miliki. Tapi sekarang aku ingin tau, sampai dimana kau nilai kejahatanku jika mengusik itu.
Jujur, aku ingin meneriakkan ini tepat di depan mukamu. Menanyakanmu dengan sempurna, berapa kelipatan Baik-Buruk yang kau dapat di masanya dan masaku.
Kau tau aku suka menulis, tapi ditulis lebih indah kurasa. Wajar saja aku cemburu, sebab perempuan itu yang berulangkali kau tulis, bukan aku.
Dan perempuan itu berhasil menjadikanmu Penulis.
Kau begitu nyaman dengan kejujuran di bawah kata-katamu, yang kurasa itu lebih bisa dipercaya.
Ribuan lembar bahkan tak cukup untuk mewakili seberapa kau Rindu.
Aku tak ingin membandingkannya dengan apapun.
Apalagi hanya dengan satu kalimat di ponselku "Aku Rindu". Dulunya aku tersanjung dan merasa menjadi perempuan baik bisa mempercayaimu begitu besarnya. Sekarang kalimat di layar hapeku seperti tak punya nilai apa-apa. Maka aku tak ingin membandingkannya, sebab jelas tak sebanding.
Sekarang aku berkata lebih lirih, tanpa teriak. Agar aku tak lancang memekakkan telingamu.
'Pada perempuan itu aku cemburu'.
Dan aku sengaja mengistirahatkan otakku hari ini.
Sekedar tak ingin menerima umpatan dari diri sendiri, sebab dengan kurang ajar aku mencemburuinya.
Tapi tetap saja kuhalalkan. Setidaknya untuk kali ini. Sekali lagi.
Aku tau, katanya masalalumu adalah milikmu, masa laluku adalah milikku dan masadepan adalah... Ah, persetan.
Aku hanya kembali ingin tau, jika aku dan perempuan itu berdiri di ruang yang sama, dalam waktu yang bernama satu. Tiba-tiba datang malaikat menawarimu pilihan, mustahil kau memilih menjadikannya rapi di ruang kenangan.
Dan untuk yang kesekian, pada perempuan itu aku cemburu.
Yang sukses membuatmu nyaris gila. Terhuyung-huyung ditampar kenyataan.
Pada permpuan itu aku cemburu.
Aku cemburu pada perempuan itu.
Atas nama hati, tanpa dukungan otak: Aku cemburu. Titik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar